Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arogansi Jalanan

27 Agustus 2018   09:20 Diperbarui: 27 Agustus 2018   09:26 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu terakhir, marak kejadian arogannya pengguna jalan raya. Dua hari lalu, saat membaca berita mengenai pemotor yang ditabrak dengan sengaja hingga meninggal, di grup percakapa ada kiriman video kekerasan pengemudi mobil berstiker milter pada anak remaja. 

Jadi ingat agak lampau ada pengemudi ojek online, yang memukul orang yang mengimbau agar pemotor jangan menggunakan trotoar, dengan dalih jalan macet. Lebih tragis lagi, seorang perempuan. Jika di deret sehari-semalam tidak akan cukup bagaimana di jalanan jauh lebih mengerikan daripada rimba belantara.

Jangan sampai nanti pada lelucon, ketika hukum rimba malah diplesetkan, hukum jalanan di Indonesia, kan memalukan. Rimba di mana hukum rantai makanan berada, bahkan jauh lebih tahu diri, tahu batas, dan tidak akan ada yang memaksakan kehendak. Mana ada banteng memaksa singa untuk menyingkir dari kawasannya sendiri. Tidak ada, berbeda ketika singa memasuki kawasan banteng, jangan salahkan kalau singa dikeroyok.

Sudah bosan dan jemu berkomentar apapun dikaitkan dengan pilpres apalagi Jokowi, kalau mau demikian, lebih baik jaga muka dari pada mempermalukan diri sendiri, karena jelas hanya membuat rusuh dan provokasi murahan. Jelas sebenarnya, kecuali yang buta hurup dan buta mata hatinya.

Mengapa arogansi, bahkan sudah memasuki ranah perempuan yang sejatinya tidak memiliki kodrat kekerasan dan main tangan ini?

Pertama, sikap frustasi, antara harapan dan kenyataan yang jauh berbeda. Ekspektasi tinggi terhadap banyak hal dan faktanya susah dicapai. Hal ini jelas berkaitan dengan budaya, pendidikan, dan pengetahuan. Jika mau lebih realistis, dunia jauh lebih adem dan ayem.

Kedua, ketika banyak pihak frustasi itu, pelanggaran norma dan hukum menjadi meningkat. Nah peran penegak hukum yang labil membuka jendela, bahkan pintu untuk pelanggaran demi pelanggaran hukum terjadi, lingkaran setan, penegakan hukum yang lemah, tebang pilih, suap, kolusi, dan model pelanggaran ditutupi dengan pelanggaran lain.

Ketiga, penafsir gemblung, pagi-pagi tadi ada hiburan ketika membaca berita, bagaimana pemuda yang merasa kritis mempertanyakan surat tugas polisi yang melakukan razia. Ternyata terbukti itu hanya dalihnya karena ia tidak memiliki SIM. Kritis itu boleh, namun bukan menyembunyikan pelanggaran dan kejahatan. Jangan menuduh pihak lain tidak adil, dirinya sudah tidak adil, mencurigai pihak lain tidak prosedural, demi menutupi dirinya yang melanggar aturan.

Penafsir gemblung ini ada di mana-mana, bisa menjadi tiba-tiba ahli hukum, ahli UU jalan raya, ahli para ahli, ya penafsir gemblung ini. benar dan boleh mempertanyakan perundang-undangan, namun bukan dalam arti melindungi kesalahan sendiri, dengan membuktikan kesalahan orang lain. Hal ini  mulai dari jalanan hingga parlemen dan elit masih dikuasai pemafsir gemblung ini. Dapat diduga model ini adalah pelaku kejahatan demi menutupi kejahatannya. Praperadilan kasus maling berdasi, tuduhan-tuduhan soal pemborosan, namun mereka enggan pembuktian terbalik. Identik bukan yang di jalanan hingga elit negeri ini?

Keempat, kembali hukum rimba masih kalah oleh perilaku hukum di Indonesia, bagaimana ketika banyak sama dengan benar dan bisa mengatasi hukum. Tidak perlu contoh, beribu bukti dengan mudah disajikan. Ketika berhadapan dengan massa dan banyak yang mendukung, aparat penegak hukum gamang, takut, dan mengambil langkah mundur dengan dalih demi keamanan. Mengapa demikian?

Satu, masa lalu polisi dan penegak hukum yang mudah disuap, susah untuk bersikap dengan adil, tegas, benar-benar taat aturan. Pernah tersandera oleh kepentingan. Ini mulai membaik, namun masih jauh dari harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun