Asian Games sedang berlangsung, nada sumbang soal pemborosan sayup-sayup terdengar, meskipun toh itu juga karena tahun politik. Jika mau jernih berpikir, penetapan tuan rumah juga bukan era pemerintahan sekarang. Pun ketika Asian Games pertama kali Indonesia jadi tuan rumah, nampaknya jauh lebih "miskin" dan dengungan ketidakpuasan jelas ada.
Dulu juga, pembangunan gila-gilaan, Monas, kompleks Senayan, Istora, dan banyak lagi, hari-hari ini, paling tidak pemerintahan kali ini  juga menggeber pembangunan jalan, bendungan, rel kereta api, kereta cepat, dan banyak infrastruktur yang katanya membuat utang membengkak. Toh hanya nyaring masa menaiknya tensi menjelang pilpres dan orang yang itu lagi itu lagi.
Benar gak sih soal pemborosan dan tidak mendesak. Termasuk infrastruktur, bangunan "mercusuar", dan seterusnya itu? Dalam arti tertentu, apalagi pihak yang kontrapemerintah memang menjadi santapan empuk. Namun apa sepenuhnya demikian buruknya?
Kebanggaan. Ingat ketika ekonomi sulit, keuangan mepet, namun dalam keadaan menjelang hari raya, siapapun pelakunya, apapun agamanya, pasti akan menyiapkan pakaian terbaik bagi anak-anaknya, jika tidak terbaru. Juga akan membelikan sekadar kue, agar tidak berbeda denga anak-anaknya. Jujur tengok pengalaman masing-masing. Â Tentu yang pernah mengalami keuangan yang tidak mudah.
Perilaku maido soal ini, biasanya sejak kecil enak, tidak pernah merasakan betapa bangganya ketika bisa "menikmati" apa yang dimiliki temannya, meskipun level yang berbeda. Sangat bisa dipahami karena mereka tidak pernah mengalami perjuangan hanya sekadar "memiliki", apapun sudah dipunyai, penghargaan akan perjuangan itu rendah.
Pembangunan proyek kereta cepat, sudah pernah saya bahas khusus ketika sedang hangat-hangatnya bertahun lalu. Ini juga proyek yang dibangun semata untuk "sama" dengan tetangga, masyarakat biar bangga juga bangsanya tidak katrok-katrok amat. Mengaku bangsa besar namun masih juga merangkak dengan kereta kluthuk saja bangga. Lihat kereta api sekarang, jauh banget dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu puas dengan desak-desakan, copet, pengasong, dan stasiun kumuh, namun kini dengan kelas laiknya bandara, kog pada diam?
Mentalitas inlander, sematan penjajah yang ternyata dilestarikan politikus tamak sekian lama itu demikian mengerak. Ciri pesimis, takut berubah, dan takut gagal, itu indoktrinasi sukses Belanda yang ternyata dipakai oleh ode baru yang memang hanya ingin mengeruk kekayaan bangsa demi kepentingan sendiri dan kelompoknya. Selalu merasa tidak mampu, padahal begitu melimpah dengan SDM dan SDA, kagum akan hal-hal yang berbau asing.
Sikap mencari kewibawaan pada pihak lain. Sangat khas  pribadi minder. Pasti banyak yang ingat, kalau anaknya rewel atau nakal, akan keluar senjata andalan, laporkan guru, ada polisi atau tentara, setan, gendruwo, dan seterusnya. Padahal hal itu senjata menutupi  kelemahan atas wibawanya yang rendah dan ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan.Â
Jangan heran ketika mau meminta kembali tambang minyak apalagi FPI banyak yang pola ini dikemukakan, nanti USA marah, jangan membuat ulah yang bisa membuat negara lain meradang. Menjaga persahabatan, persahabat mbahmu kung fu wong mereka ambil untung kog sahabat. Sikap kecil yang parah, melibatkan pihak lain yang ngadali.
Sikap munafik dan mendua. Satu sisi menghujat, satu pihak yang sama memuja. Lihat saja bagaimana mengatakan antiasing, namun tidak malu menggunakan produknya pamer lagi. Marah BBM mahal, namun perilaku tamak dan rakus akan BBM tidak diatasi. Listrik juga demikian, air, dan betapa banyak pemborosan dan tanpa perilaku hemat namun menuding pihak lain.
Sikap yang identik juga menjilat, khas sikap model pribadi kecil. Menjilat ke atas dan menekan ke bawah, lihat saja perilaku birokrat masih demikian kental dan kuatnya. Mentalitas yang perlu dibenahi, sayangnya malah salah yang diurusi. Akar masalah sikap kecil, minder, dan akhirnya meruyak karena tidak pernah disadari, apalagi diterima, Â untuk disembuhkan.