Kemarin, iseng-iseng membuka kiriman teman di grup percakapan, ternyata mengenai filosofi gula. Dalam koip tersebut dikatakan, kalau kopi terlalu pahit, gula yang salah, kalau terlalu manis, gula pun yang jadi sasaran, namun kala pas, yang diacungi jempol kopinya mantab. Jadi ingat kata Kitab Suci, yang mengatakan kalau garam hilang asinnya, bagaimana bisa berdaya guna, tentu hal ini konteksnya adalah masa di mana garam itu komoditas yang sangat berharga. Secara esensial sama. Â Kalau generasi sekarang mungkin paket data 100 giga dengan 5G lagi, apa daya tiada signal.
Hal yang mendasar dalam nilai kehidupan, akhir-akhir ini jungkir balik, mengapa? Semua-mua dikaitkan dengan politik. Apalagi saat politik yang dihidupi abai akan moral dan kebaikan. Semua  boleh asal menguntungkan.  Tidak ada makan siang yang gratis, saya mendapat apa kalau aku memberikan apa, dan pameo yang selalu menjadi sebentuk  syahadat berpolitik niradab, yang ada adalah gaya berpolitik dagang sapi dan do ut des.
Sikap kepemimpinan, seyogyanya adalah sepi ing pamrih rame ing gawe. Termasuk di sana adalah soal "dilupakan". Kebaikan yang dilakukan pemimpin sebaiknya ikutnya falasafat sakit perut, jika tidak ke jamban akan sakit terus, kalau sudah dilakukan tidak usah ditengok apalagi diharapkan kembali, pernah saya jadikan artikel. Peran ini masih terlalu jauh dari hiruk pikuk politik bangsa ini, bagiamana pengakuan, popularitas, dan selalu ingin diingat bahkan mengorbankan pohon untuk dipaku di sana-sini dengan photo diri yang tidak karuan itu.
Ingin pengakuan karena tabiat tenar, viral, dan popularitas yang sempit. Yang penting tenar, mau bermanfaat atau tidak, bukan pertimbangan. Kembali ke judul, ketika gula itu larut dalam kopi atau teh, tidak akan ada yang mengenali, apalagi memuji gula, berganti manis. Sikap yang masih jauh dari jiwa kepemimpinan.
Korban, pun esensinya adalah sikap berbagi bagi sesama, tanpa balas tentu saja bukan? Jika kembali lagi dan lagi politik berbicara, semua berubah makna. Berkorban namun menuntut balas. Memberi agar mendapatkan pemilih. Soal benar dan salah, apalagi mengenai balasan atau diterima atau tidak, jelas prerogatif Sang Pencipta yang berhak.
Peribahasa mengatakan, tong kosong berbunyi nyaring, riak tanda tak dalam, dan hendak mengatakan kalau tong, drum, atau tangki itu kosong bunyinya sangat nyaring, berbeda jika penuh dengan isi, akan diam. Pun riak, atau di sungai, itu memberikan tanda sungai itu tidak dalam. hati-hati yang tenang, karena arusnya jauh di bawah sana, sangat dalam. Jadi  jika banyak politikus itu berbunyi terus, mengatakan ini dan itu, semua dijadikan bahan perdebatan dan perselisihan, menunjukkan kelasnya masih kosong dan riak tak dalam itu.
Filosofi gula tersebut juga berbicara dalam konteks Jawa ajer ajur. Terjemahan bebasnya bahwa mampu untuk hancur, lebur, dan menyatu. Tidak akan lagi tampak wujud aslinya, namun memberikan makna dan perubahan siginifikan, dan menjadi penanda yang esensial. Hal yang masih jauh dari harapan, karena oran menjadi ribut pada ranah yang remeh-temeh, pengakuan akan keakuan, egoisme sektoral, dan itu yang berpotensi memecah-belah.
Keriuhan itu karena orang berbicara yang permukaan, bukan yang mendasar apalagi menjadi fundamentalnya. Bagaimana riuh rendah hanya karena beda warna 'pakaian", sama sekali tidak memperlihatkan kualitas kemanusiaan padahal. Berbagai hal "pakaian" ini, label bisa berupa kesamaan suku, agama, ras, pilihan politik.
Perbedaan yang dipicu oleh sekelompok pihak yang mengail di air keruh, kelompok enggan kerja keras sehingga meniupkan isu kegagalan, padahal mereka sendiri tidak memiliki prestasi sama sekali. Ciri jati diri kecil, minder, dan enggan beranjak. Mencari-cari kesalahan pada pihak lain, padahal dia sendiri tidak pernah berbuat.
Apakah akan demikian terus? Semua tergantung pilihan bangsa ini, mau bebenah dan berubah, atau bubrah?
Ciptakan pendidikan yang mampu membawa bangsa ini memilih itu dengan cerdas. Lihat hal yang fundamental, mendasar, bukan semata permukaan. Jika mampu demikian, Bhineka Tunggal Ika bukan barang yang hanya indah di dalam pernyataan dan tulisan, namun menjadi gaya hidup yang menjiwai seluruh anak bangsa ini.