Kemarin, salah seorang rekan mengirim dalam grup percakapan mengenai lagi Hari Merdeka yang diplesetkan kurang sehari, jadi besok adalah hari kemerdekaan kita, konteks tanggal 16.Â
Saya becanda, memang jadi merdeka, Kompasianers Lilik Fatimah yang mengirim pesan itu mengatakan, lho kog kog jadi, dan disambung, Jadi Menurut Anda Kemerdekaan itu apa Bung? Dengan satu emo. Nah jadi bingung lah, apa ya ketika menyatakan jadi merdeka, berarti ada yang saya bantah soal merdeka, akhirnya pagi ini sambil menyiram tanaman bisa menemukan itu. Pun dijawab via pesan grup tidak ada cukup mewakili dengan pas.
Tahun kemarin, ketika mau acara 17-an seperti ini, keponakan Katolik, perempuan, oleh teman-teman remajanya di RT-nya dipilih untuk menjadi ketua, namun ada yang mengatakan, tidak boleh, perempuan tidak boleh jadi ketua. Ingat ini bukan soal agama, kalau bicara agama lebih baik tidak usah datang dan mengotori lapak  komentar. Ketua dalam kegiatan. Tujuh belasan lagi. Ini pernah saya ulas.
Kembalilah ke jati diri asali diri sebagai bangsa Indonesia. Apa yang saya ketemukan adalah fakta dari kehidupan bersama sehari-hari. Sekali lagi ini  konteks INDONESIA. Apakah ini utopis semata? Tidak juga sepenuhnya demikian.
Pertama, sikap tanggung jawab. Bagaimana  tanggung jawab ini susahnya minta ampun. Lihat koruptor itu mau ditindak saja berulah luar biasa susahnya, dipidana nanti akan banding, PK, dan kalau mentok membuat ulah lagi dengan sel mewah, keluyuran, sedangkan maling motor malah mati dibakar hidup-hidup, mana ada dia banding apalagi menikmati sel mewah. Sikap bertanggung jawab yang sangat kecil. Tidak heran maling anggaran pun dianggap rezeki. Merdeka itu berani bertanggung jawab.
Kedua, kelompok apapun yang besar, jangan menindas, atau mengatasnamakan sebagai yang banyak mendiktekan banyak hal bagi hidup berbangsa, lepas dari Pancasila dan UUD '45. Â Hal yang sangat jamak, ketika tidak mampu, akan mengerahkan massa. Ini siapapun bisa melakukan dan kadang berbalik jadi korban. Hidup bersama sebagai bagian utuh bangsa ini. Merdeka satu sebagai manusia Indonesia.
Ketiga, bebas berekspresi, dalam koridor hukum yang pasti. Bagaimana kegiatan keagamaan saja masih susah, dipersulit oleh kelompok tertentu.Â
Sekali lagi, ini siapapun bisa jadi korban dan pelaku, tidak hanya satu atau dua saja. Jadi tidak perlu sensi, kalau tidak terima, buat artikel tanggapan saja. Pun bukan soal agama, soal etnis, soal kelompok-kelompok marjinal lain. Atas nama agama atau demokrasi namun menindas kemanusiaan.
Keempat. Paling akan menjadi heboh, semua WN berhak menjadi apa saja sesuai kompetensinya. Coba Hindu menyalonkan diri jadi presiden. Ingat Ibu Megawati saja dikait-kaitkan karena berdarah Bali bukan? Atau Pak Jokowi yang jelas-jelas agamanya saja dinyatakan memiliki nama baptis. Contoh terbaru jelas soal Ahok. Sikap merdeka akan memberikan jaminan yang sama untuk jadi apa saja sesuai kompetensinya. Tentu bukan dalam  konteks, ahli bangunan boleh menjadi dokter. Ini sesat bukan merdeka. Bagaimana di kampus negeri saja untuk jadi ketua himpunan, agama dijadikan acuan, ini juga pernah saya jadikan artikel.
Termasuk dalam hal ini, adalah seluruh warga negara bisa menjadi apa saja tanpa perlu suap, koneksi, dan kolusi. Bagaimana hal itu terjadi, memang jauh lebih baik dari pada dua dekade lalu, namun penyakit ini belum seutuhnya sembuh.
Kelima, jaminan kesejahteraan dan keamanannya. Bagaimana rakyat terjamin  kesejahteraan dan keamannya. JKN-KIS sudah mulai berjalan, toh masih susah juga. Pun keamanan, kalau tidak sama dengan yang banyak akan terintimidasi baik langsung atau tidak langsung. Hal ini yang masih jauh dari bangsa merdeka.