Transaksional dalam politik sebenarnya hal yang wajar, normal, dan salah satu ciri khas ketika memang kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan berpolitik.Â
Politik itu cair, dinamis, tidak ada kawan abadi adanya kepentingan yang sama, atau tidak ada makan siang yang gratis. Iya, semua itu benar adanya, diyakini, bahkan seolah kredo, syahadat, dan keyakinan tertinggi berpolitik. Apa iya demikian?
Ada faham fasis, di mana hasil itu membenarkan cara. Artinya cara atau prosesnya tidak menjadi pertimbangan di dalam menggapai hasil. Apa bedanya coba jika mainkan banyak kaki, yang penting mendapatkan kedudukan. Tidak kerja keras hanya mau hasilnya saja dan ketika ada kesulitan atau kerja menghindar?
Dari banyak parpol. Perpindahan ke kelompok yang menguntungkan itu tidak sedikit, ada Golkar, P3, dan terakhir PAN. Ada pula yang  sebenarnya sudah menjajaki namun rupanya tidak jadi. Sangat normatif dalam berpolitik.Â
Demokrat juga melakukan ketika adanya KMP dan KIH mereka memlokamirkan diri sebagai penyeimbang, tapi mendapatkan jatah pimpinan di dewan dan majelis.Â
Golkar juga mendapatkan jatah ketua dewan dan dapat menteri, beda dengan P3 yang tidak dapat dewan dan majelis, namun mendapat menteri, hal wajar, biasa dalam politik.
PAN sangat spesial, bagaimana mereka mendapatkan jatah pimpinan dewan dan mendapatkan menteri, kemudian meninggalkannya karena tidak mau mengusung yang pernah mereka dukung ketika mendapatkan menteri. Jauh lebih bermartabat ala PKS dan Gerindra yang memang tekun di dalam memilih jalur yang berbeda.
Perilaku PAN ini memang sejatinya sejak awal sudah nampak "tidak beres". Jauh sebelum pilpres 2014, Amie Rais yang jauh lebih "berkuasa" daripada ketua umum pernah menyebutkan pasangan Jokowi Hatta bak Sukarno Hatta, tanpa menyebut mengapa Jokowi sama dengan Sukarno, sedangkan Hatta keduanya ahli ekonomi yang dinyatakannya. Tidak lupa juga menyebutkan nama lain yang bisa saja bersama Hatta. Dan akhirnya bersama dengan prabowo. Itu 2013, masih gubernur Jakarta, jauh dari pilpres sebenarnya. Berita ini bisa dicek di media via Google.
Pilihan realistis ternyata bersama Prabowo, entah mengapa, yang jelas Jokowi bersama JK. Pergantian pimpinan mengikuti usainya pilpres dan gerbong berlaih ke besan Amien Rais menggantikan Hatta dan PAN mendukung pemerintahan Jokowi-JK dengan mendapatkan jatah satu menteri. Sangat wajar dengan perilaku demikian. Ada juga Golkar dan P3 juga.
Memasuki tahun pemerintahan berjalan, lepas dari kementrian dan si menteri, perilaku PAN di legeslatif dan elit parpol ternyata jauh dari Golkar dan P3.Â
Dalam isu-isu strategis, mereka kadang jauh lebih "galak" daripada Gerindra dan PKS. Soal pansus KPK, mengenai ormas radikal, dan banyak lagi, cerminan mereka yang memang berperilaku berbeda dengan partai lainnya.