Anies mengatakan menolak untuk diusung menjadi cawapres Prabowo, Â maka berlabuhlah ke Sandi. Ah yang bener? Tidak yakin dengan pengakuan dan pernyataan itu, jauh lebih meyakinkan, memang hanya basa-basi memberikan tawaran ke Anies, padahal sejatinya sejak awal ke Sandi.Â
Tawaran basa-basi saja. Apa coba yang bisa ditawarkan, jauh dari apa yang ada diri Sandi. Susah meyakini kalau Prabowo dan kelompok yang mengusung dan mendukung menetapkan Anies. Usai pilkada DKI, jarang terlihat dukungan besar untuk Anies, sering malah solah Anies teralienasi, apalagi dia bukan orang parpol. Lebih banyak Sandi yang mengemuka.
Beberapa hal yang mengindasikan Anies memang tidak patut diusung,
Pertama, pemerintahan Jakarta itu banyak dipahami sebagai sebentuk kegagalan demi kegagalan. Isu sungai Item, penataan trotoar, penggantian pejabat daerah. Apakah itu prestasi? Jelas bukan lah apalagi itu Jakarta. Selama ini dibela karena partai yang mengusung mereka, kalau untuk diangkat lebih tinggi mereka tetap berhitung jelas kerugian yang ada. Sama sekali berbeda konsep antara menjadi gubernur dan menjadi bakal calon wakil presiden.
Kedua, sisi nonparpol menguntungkan bagi PKS dan PAN, namun kedua parpol nampaknya juga tidak yakin bisa memberikan kontribusi bagus bagi partai, baik PAN, ataupun PKS. Apalagi melihat reputasinya selama ini. Kecil kemungkinan parpol menyetujui nama ini. Apalagi Demokrat. Meskipun dalam konvensi mereka, melihat reputasinya bersama Jokowi, tentu menambah antipati ala SBY.
Ketiga, model Anies, bukan orang kedua, jelas berbahaya kalau ada Anies ada Prabowo. Tipikal nomor satu semua. Bisa berabe dan berantem. Model Anies bukan model wakil. Namun bukan pula seorang pengambil keputusan. Ia model pelaksana, jadi menjalankan apa yang menjadi keputusan. Pun repot karena sering melampaui, atau mendahului, offside, sisi yang tentu dipahami dengan baik oleh tim Prabowo.
Keempat, modal kapital, jelas lemah. Jangan bicara jabatan tanpa uang di sini. Di luar polemik Sandi dengan 500 M dan kardus, tetap saja modal itu tidak kecil, dan jauh lebih logis, realistis, dan wajar pilihan ke Sandi daripada Anies. Hal yang biasa saja, lumrah, dan bukan hal aneh sebnarnya.
Kelima, keberadaannya di tim pemenangan sisi sebelah justru menjadi masalah, bukan membantu. Susah menafikan persepsi publik atas keberadaan Anies, apa yang mau dijadikan bahan menguliti toh nampaknya tidak ada. Pola tim pemenangannya sangat wajar, bukan rahasia besar yang bisa dikuak dan membalikan keadaan.
Keenam, bekas menteri. Meskipun di pilkada DKI tidak berpengaruh, toh soal faktor lain yang berbicara. Susah untuk mengatakan sosok Anies sebagai penyebab kemenangan, ada peran, namun tidak begitu kuat. Apalagi ketika kontestasinya di atas menteri yang pernah ia alami dan tergeser. Bukan jawaban mudah untuk menahan pertanyaan ini.
Ketujuh. Nonparpol yang kadang bisa menguntungkan, kini justru menjadi ganjalan, ingat pilpres ini bersamaan dengan pileg. Parpol tidak mau memberikan tiket yang tidak menguntungkan dalam pileg mereka. Kader bukan, simpatisan pun bukan, mau memberikan suara ke parpol? Jelas tidak. Ini kendala cukup besar bagi parpol.
Kedelapan, usia Anies, ambisi Anies, dan rekam jejaknya jelas. Bahaya 2024 bagi partai politik jika memberikan tiket kepadanya, sedangkan posisinya adalah orang luar partai politik. Semua parpol akan lebih senang jika bukan kader namun masih bisa dikendalikan, apalagi bisa masuk dalam elit mereka. Anies pernah masuk menjadi salah satu  peserta konvensi Demokrat, ada pada kebersamaan di Jokowi, dan kemudian ada di antara Gerindra dan PKS untuk pilkada DKI. Siapa yang bisa menjamin Anies masuk partai yang mana.  Hitung-hitungan yang cukup rasional bagi parpol tentunya.