Pendidikan Katolik sangat menjunjung pluralisme, di mana anak didik dikembangkan untuk semakin kuat dalam agama mereka. Memang pendidikan religius atau pendidikan agama akan diberikan sesuai dengan misi Yayasan Pendidikan Katolik, namun itu dari segi kognisi pengetahuan, bukan praksis, apalagi ibadahnya. Sama sekali tidak demikian.
Sekolah-sekolah Yayasan Katolik jelas awalnya dibangun untuk membantu peran pemerintah yang kala itu belum mampu memberikan layanan pendidikan baik dan murah. Sebenarnya hal yang sangat wajar ketika kini banyak sekolah tersebut tutup, ingat soal motivasi didirikan.Â
Kala pemerintah dan negara sudah mampu memberikan ruang dan pendidikan bagus, mumpuni, dan terjangkau, karya biarawan bisa beralih ke tempat di mana memang membutuhkan. Ini inti pendidikan Katolik sejatinya.
Pendidikan itu menghasilkan orang yang berkualitas, dalam pengetahuan, ketrampilan, pun agama seturut yang ia anut dan yakini. Nah terbukti bukan apa yang dihasilkan YPL Jakarta dengan pribadi Sandiaga Uno menjadi salah satu bakal cawapres, oleh partai pengusungnya ia merupakan santri Postislamisme. Â Apa yang diberikan sekolah tidak mengubah anak didik untuk mengikuti ajaran agamanya, dan itu tidak bisa disangkal.
Apakah akan ada pembiasan asal sekolah? Sangat mungkin, tetapi di dalam buku induk sekolah, di dinas terkait masih ada bukti itu. Bukti sahih jika ijazah hilang, akan diterbitkan surat pengganti oleh dinas terkait, tentunya dinas memiliki catatan atas nama pribadi itu. Â Tentu tidak akan seekstrem itu fakta yang terjadi.
Memang kalau sekolah di Katolik, apakah kadar keimanannya luntur? Atau sebaliknya, ketika sekolah di negeri atau yayasan lain akan menjamin lebih beragama dan beriman? Â Menjadi aneh dan lucu ketika label menjadi lebih penting dan menentukan. Coba bayangkan kita beli kacang goreng itu membeli kacangnya, atau labelnya yang bergambar menarik?
Kadang rindu zaman lau, di mana orang tidak pernah meributkan label, mengaitkan label dengan jabatan ini dan itu, apalagi hanya karena sekolahnya. Atau sekolah juga tidak melihat siapa pengelolanya, pokoknya bagus, terjangkau, bisa lolos seleksi, masuklah ke sana. Apa yang telah koyak sekian lama itu, nampaknya masih perlu waktu untuk bisa kembali menjadi baik dan bagus.
Pemilu menjadi sarana untuk mempersatukan bukan malah memisahkan, menjadi ajang untuk berlomba di dalam kebaikan bukan malah dalam kejahatan dan keburukan. Akan ke arah yang mana? Patut kita tunggu.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H