Kesuksesan memang sesuatu yang abstrak, bisa beraneka ragam definisi, pemahaman, dan pemaknaan. Paling tidak ada pemahaman pribadi atas kesuksesan tersebut. Artikel ini berangkat dari dua kisah faktual mengenai memahami kesuksesan.
Kisah pertama, mengenai seorang rekan yang baru dimasukkan dala grup media sosial. Di sana ia mengatakan, semua sudah sukses, hanya aku yang belum, dan satu tanggapan dari rekan lain, huzzz... Tidak berkepanjangan, karena susah juga didiskusikan, didebat, atau dijelaskan sekalipun, ini sebuah pemaknaan yang berkaitan dengan banyak hal.
Kedua, tetangga, sering berkisah tentang teman masa mudanya dan keadaan kini mereka. Ada yang baru, ia berkisah ditawari makelar "pesugihan", dan nampaknya si pelaku calo ini menunjuk orang-orang yang telah "menggunakan" jasanya. Artinya bisa ya, bisa tidak soal kebenarannya. Yang jelas memang banyak yang katanya 38-an orang yang melakukan "laku" itu, diindikasikan bisa jadi memang demikian. Susah membuktikan, selain dari ciri-ciri yang memang mengarah ketidakwajaran. Tentu bukan hal itu yang menjadi penting, namun ketika orang hanya mengejar kekayaan, labeling, dan kendaraan yang menjadi kesuksesan mereka, ya tidak heran, jika potong kompas menjadi hal yang sangat wajar.
Materi, kekayaan, dan harta benda jelas tidak buruk apalagi salah, namun apakah itu menjadi ukuran atas sebuah kesuksesan? Bisa iya bagi orang yang memang orientasinya adalah materi, tampilan keseharian dengan pakaian, kendaraan, dan asesoris yang melekat. Sangat biasa. Dan memang itu adalah indikator yang paling mudah dan meriah untuk dilihat.
Suksesmu belum tentu suksesku dan suksesku belum tentu juga suksesmu. Kesuksesan akan selalu bernilai personal, bahkan dengan pasangan, saudara, atau kembar identik sekalipun, belum tentu demikian.  Dalam falsafah Jawa dikenal, wang sinawang, orang hanya saling memandang dan artinya itu ke luar dan di luaran, bukan kedalaman diri dan kedalaman memahami. Bisa saja orang yang kita nilai sukses itu malah merasa pengin seperti yang ada pada kita, keberadaan kita. Sangat mungkin.
Syukur, hal yang sangat membedakan, ingat guru ketrampilan elektro masa SMA dulu, yang menjawab pertanyaan konyol seorang rekan, merk elektronik terbaik itu apa. Dan dijawab  yang terbeli. Kalau mampu membeli sony yang terbaik, kalau mampunya membeli sunny, merk plesetan yang ada di kawasan pasar ya itu yang terbaik bagimu. Di sinilah peran syukur itu, bagaimana tidak, kalau memang mampunya menulis seadanya, tidak perlu iri atau gege mongso untuk menerbitkan. Mampunya naik kapal laut, nikmati dan syukuri bahwa bisa melihat lautan dengan segala dinamikanya, mabuk laut dan lama tentunya. Tidak perlu panas ketika pesawat di atas kepala kita terlihat melesat dan sampai tujuan lebih dulu.
Melihat kebutuhan bukan keinginan. Idealisme kadang diperlukan agar tidak mengedepankan sikap boros, hedon, dan iri yang mengerak. Sering kita itu membeli, memikirkan, dan terobsesi apa yang tidak kita butuhkan, namun karena orang lain punya, orang lain juga mampu mengapa kita tidak. Sebenarnya hal ini dalam arti tertentu  bagus dan menginspirasi untuk maju, asal tahu batas dan kemampuan. Mengapa demikian? jika tidak tahu batas, abai akan syukur, dan menjadi iri yang lebih mengemuka. Bagus bahwa orang lain bisa aku juga bisa.  Namun tentu dinamika setiap pribadi berbeda, dan itu menjadi penting.
Jika lupa akan kebutuhan dan keinginan, ya tidak heran orang menjadi tamak, korup, dan menggunakan segala cara agar keinginan itu terpenuhi. Semua ingin juga kan enak, makan di restoran dari hotel berbintang, cafe, atau tempat makan yang jika ditampilkan di media sosial bisa mendapatkan decak kagum dan jempol ke atas. Lha apa daya kalau mampunya hanya kaki lima? Apa yang kita butuhkan, makan bukan, soal lainnya itu adalah bonus. Apakah kita mengejar bonus dan abai yang utama?
Mengapa menjadi begitu sumir soal kesuksesan ini?
Budaya dan tabiat hidup bersama yang memang menilai orang dengan tampilan. Orang tidak lagi peduli asal muasal atau cara untuk mendapatkan tampilan itu. Ingat bagaimana koruptor yang harusnya malu malah bangga dengan apa yang mereka maling itu. Bersikukuh itu adalah hasil yang berasal dari Tuhan, lah Tuhan saja diajak bohong dan kompromi atas kejahatan. Tampilan mewah, pakaian mahal, makan di tempat mahal, nampang di media apapun dengan mudah, membuat orang lupa akan perjuangan dan proses. Ketika hal instan diperoleh, cara instan juga yang dipakai, dan hasilnya pun instan.
Pola pikir pendek dan tidak menghargai proses. Sejak kecil kita terbiasa diajak untuk menampilkan sisi ini, pamer, capaian instan, dan bukan yang esensial. Lebih suka anaknya alim, diam, dan tenang dalam banyak hal, sepanjang di depan orang tua, padahal di luaran bisa lebih liar dari apapun yang bisa dilihat. Ranking di kelas dengan abai akan kejujuran dan hasil belajar, itu dimaklumi, bukan ditegur dan diluruskan untuk menjadi baik. Menyuap dalam menggapai sekolah atau pekerjaan idaman.