Beralih peran antara kebersamaan partai politik antara 2014 dan 2019 sangat terasa siginikansi dan keberadaannya. Jika hitung-hitungan matematis, penguasaan Golkar dan P3 dengan 130 kursi berbanding dengan 6i kursi jelas sangat jomplang. Namun apakah politik sama dengan matematika, itu jelas tidak. Berbagai faktor menentukan. Siapa yang mampu meyakinkan mesin partai untuk bekerja keras dan mengupayakan tokoh yang diusung tetap menjadi pembeda. Apalagi pileg dan pilpres dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Faktor ketokohan menjadi kunci, soal parpol nampaknya tidak begitu signifikan, namun bisa menjadi senjata andalan atau malah blunder.
Hitung-hitungan matematis, kubu Prabowo memang sangat kehilangan suara dua parpol yang cukup besar, dengan asumsi kursi lebih dari 130 buah bukan suara yang kecil. Jika suara dalam persen kehilangan hingga 20 % lebih. Â Cukup signifikan, dengan mendapatkan suntikan darah segar hanya 6i kursi atau setara dengan 10,19% suara. Â Kembali politik bukan matematika.
Potensi perpindahan dukungan dari elit atau kader juga bukan tidak mungkin. Â Hal ini sebenarnya juga bukan hal yang aneh dan tentu semua kubu telah paham dengan keberadaan masing-masing "rekan" ini. contoh di 2014, Golkar tentu masih ingat bahwa gerbong JK tentu tidak kecil, barisan yang kecewa karena Ical mundur bisa juga ikut pasif atau malah ikut gerbong JK, sangat mungkin. Domokrat yang menyatakan netral pun nampaknya tidak cukup meyakinkan dengan mendapatkan dua posisi pimpinan dewan dan majelis. Kedua parpol ini sangat sumir untuk dikatakan dengan jelas ikut gerbong mana di episode yang lalu. Apakah kini juga akan demikian? Masih bisa saja terjadi.
Potensi partai yang memiliki kader dan elit sakit hati  ini bisa ke mana-mana. Bisa mereka memilih golput, namun tampaknya tidak demikian, jauh lebih mungkin adalah berbalik dukungan. Hal yang sangat potensi merusak hitung-hitungan matematis politis, lebih kuat dari sisi kalkulasi politis yang bisa tidak segampang penampilannya. Kekecewaan yang sangat sulit diselesaikan hanya sekadar kursi.
Tokoh. Jelas hampir pasti ada dua nama untuk presiden. Hampir semua parpil berebut pada posisi calon wakil presiden. Paling ini, dulu masih ramai dan berani menyatakan diri sebagai capres, kandidat presiden. Entah kini semua mengarah hanya pada cawapresnya. Hampir semua nama dan semua partai politik nampaknya memiliki alur pikir yang sama. Tidak heran, semua menantikan kapan nama cawapres ini muncul. Rumor ini dan itu ya sebatas rumor, kantong ini siapa namanya, malah jadi lagu anak, atau tunggul tanggal ini dan ini.
Mengapa demikian? kedua kandidat terkuat ini masih saling menjajagi, karena semua juga paham suata Prabowo sekian, suara Jokowi sekian, baik survey ataupun fakta yang ada. Nah posisi bacawapres ini sangat signifikan memberikan warna. Berkali ulang dari Gerindra ataupun Demokrat "manantang" kubu Jokowi untuk cepat-cepat mengumumkan atau deklarasi, toh tidak dilakukan, pun kubu Prabowo juga tidak mau mengadakan konvensi misalnya, atau audisi ala SBY, karena begitu banyaknya nama, ada sembilan dari PKS, minimal AHY dari Demokrat, atau PAN dengan si sepuh dan ketum, ada dua. Belum lagi kuda hitam Anies misalnya. Masih ada tambahan dari ulama dengan nama baru, ini bukannya memudahkan, bisa juga menambah masalah jika tidak diselesaikan dengan cara yang jitu. Tidak akan berani apalagi hitungan matematisnya mereka jelas kalah, sekali lagi bukan berarti tidak bisa menang juga.
Gerindra dengan adanya wacana Prabowo president maker, bisa menjadi bumerang. Selama hampir empat tahun ini fokusnya adalah Prabowo presiden. Entah bagaimana rasa kecewanya, berbeda ketika Ical yang tidak laku dulu, fokus Golkar tidak hanya Ical presiden, jauh berbeda dengan Gerindra. Potensi perpecahan yang sangat parah termasuk ke depannya bisa terjadi.
Golkar yang biasa mainkan politik kaki seribu, kali ini nampaknya sudah susah, hanya ada faksi masa lalu yang potensial masih kuat, gerbong JK. Penarikan Luhut, Nusron, dan kemudian Ngabalin yang demikian kuat dan lantang, sedikit banyak membuat Golkar tidak begitu banyak ulah lagi. Tokoh-tokoh lihai main banyak kaki, nampaknya sudah mulai tersisih dan digantikan generasi baru yang memiliki cara pandang yang cukup berbeda. Di sisi lain mereka tidak juga punya nama yang sangat menonjol, mereka di dalampun masih relatif setara, yang sangat mungkin bisa bersaing dan bisa seperti masa lalu.
Demokrat ini pun bukan barang baru sebenarnya. Dengan melihat perilaku mereka tidak sangat signifikan membantu pergerakan sisi Prabowo untuk makin naik pamornya. Rekam jejak mereka, tabiat mereka di dalam berpolitik, pun nama yang mungkin dijadikan posisi tawar tidak membantu banyak. Kalkulasi politik memang tidak ada kalkulatornya, namun toh masih bisa dibaca dengan melihat beberapa indikasi yang bisa terbaca dengan berbagai cara.
Hari makin dekat, dan masih bisa banyak kejutan, dan itu sangat mungkin mengubah peta politik yang ada. Pilkada serentak dan penangkapan demi penangkapan KPK pun bisa membantu untuk menakar mana yang akan unggul.
Terima kasih dan salam