Kesetiaan pada azas dan komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Jelas dasar negara adalah Pancasila, itu telah final dan mengikat, namun ada orang yang atas nama demokrasi mengangkangi itu dan menyatakan landasan lain masih boleh diusahakan.Â
Elit pun ada yang dengan terbuka  mengatakan  Pancasila hanya menjadi alat, ketika sudah mampu dengan jalan lain, Pancasila ditendang, dan dibiarkan saja. Di mana komitmen dan kesetiaan akan hidup bersama jika demikian. pembiaraan sekian lama terjadi, termasuk elit pemerintahan, apalagi legeslatif.
Memang dunia akademik itu dunia bebas, dunia di mana kebebasan berpikir dan berdiskusi dijunjung tinggi, namun ketika sudah keluar dan menggunakan media massa, memaksa orang lain ikut alur pikir dan kepercayaannya, jelas bukan lagi kebebasan akademik yang berbicara. Kedok di mana kebebasan akademik dijadikan dalih untuk berbuat yang mereka sendiri akui bahwa itu melanggar konsensus.
Pembatasan media sosial juga bukan solusi cerdas dan modern, namun membina pribadi yang taat azas menjadi penting. Bagi dosen dan karyawan taat akan sumpah-janji pegawai, di mana menjunjung tinggi Pancasila dan UUD '45.Â
Padahal pelaku yang melanggar sumpah-janjinya ini juga bisa dijerat dengan pasal korupsi, mereka menerima gaji PNS, yang negeri, dan malah mengkhianati Pancasila sekaligus. Â Kesalahan bukan pada medianya, namun pada orang yang memang memiliki tabiat munafik dan mendua, ini jauh lebih penting.
Pendidikan karakter, toh beberapa sekolah dan perguruan tinggi bisa diandalkan reputasinya, ini masalah kemauan dan pernah ada pembiaran. Bukan hanya pada perguruan tinggi, bahkan sekoah dasar saja sudah ada guru yang berperilaku demikian.Â
Murid  harus seperti ini dan itu, sekolah lanjutan harus ini dan tidak boleh itu. Atau guru berperilaku rasialis, tidak mau bergaul dengan yang berkeyakinan berbeda.
Pengawasan, bukan dalam arti seperti era Orba, adanya rekan, kakak kelas atau kakak tingkat yang kalau dosen ya rekan dan atasan yang memberikan pendampingan, saling mengingatkan jika melenceng, pembiaran, semua paham kog orang mana yang intoleran, awal dari benih fundamentalisme, namun diam saja, tidak ada saluran yang bisa dijadikan muara dan pelaporan.
Ruang dan kesempatan, termasuk elit yang bisa seenaknya sendiri menafsirkan mana yang menguntungkan mereka termasuk fundamentalis akan dibela, nasionalis karena menjadi rival bisa menjadi bulan-bulannya. Hal ini pun perlu dihentikan, tidak akan ada gunanya mahasiswa dan dosen didata, jika elitnya pun seenak udelnya di dalam perilaku fundamentalis ini.
Tidak cukup menjamin, namun paling tidak ada upaya. Perlu didukung, namun bukan berhenti pada pendataan saja, ada tindak lanjut, lihat akun di K saja banyak yang memiliki keyakinan antipancasila bisa melenggang kog.
Terima kasih dan salam