Olah raga dan politik sejatinya berbeda sudut gaya, sudut pandang, dan juga tujuan. Padahal sejatinya, bisa juga mereka dipakai untuk membangun kemanusiaan, ketika berbicara mengenai esensi. Susah memang ketika keduanya, pun sudah saling berkait, apalagi bicara dominasi, kepentingan, dan ekonomi terlibat di dalamnya. Apakah benar olah raga, misalnya Piala Dunia, Asian Games, dan sejenisnya itu berbicara sepenuhnya hanya olah raga?
Jika sudah olah raga sebagai olah raga, bulan depan akan ada gelaran Asian Games, di Jakarta-Palembang. Apa jadinya jika Israel datang? Belum reda ada seorang tokoh berbicara di sana, saja bisa menjadi berkepanjangan. Soal visa yang saling tolak pun membuat panas beberapa pihak. Dulu almarhum Gus Dur mewacanakan membuka hubungan diplomatik, responsnya seperti apa tentu dipahami juga.
Si anak bengal ini memang susah, mereka hingga "mengungsi" demi bisa bertanding bola. Mereka di terima di Eropa yang sedikit banyak bisa menerima keusilan mereka dibanding negara sekawasan. Jika regional, masih bisa lah disiasati. Apa yang akan terjadi jika si bengal ini lolos piala dunia, kemudian satu grup dengan negara tetangganya sekawasan di sana. Apa juga mau diboikot?
Kemarin, sebelum piala dunia, Argentina hendak berlatih dengan Israel. Penolakan demi penolakan, dan ancaman pembakaran poster bintang mereka, membuat batal  persahabatan yang hendak dilakoni. Sepak bola pun terkena imbasnya.
Reputasi usil mereka memang sudah tidak terbantahkan, kisah Kitab Suci mengenai mereka memang demikian. Repotnya di zaman modern ini pun mereka masih memiliki banyak penyokong. Susah berbicara mereka karena di balik panggung banyak banget pendukungnya. Jangan di kira yang di depan seolah mengataka boikot itu sebenarnya juga demikian. Ingat politik.
Selevel Eropa, Amerika Serikat, yang menglaim diri sebagai negara demokrasi, menjunjungi tinggi keberagaman mereka tidak juga "terkontaminasi" mengenai politik dalam berolah raga mereka. Peb kemarin menjadi panas karena menunjukkan simpatinya pada Catalunya. Liga Inggris sampai terusik, toh tidak jadi juga.
Persoalan politik dan perbedaan sikap di mana-mana ada. Sejatinya ajang olah raga bisa menjadi jembatan untuk menyatukan friksi yang ada. Bagaimana bisa menjadi satu jika boikot, pengucilan, dan permusuhan yang dipilih.
Ingat ada anak nakal yang semakin dihukum, dibenci, dikucilkan, dan dipisahkan, ia akan makin nakal dan usil. Bisa saja pendekatan personal, dari hati ke hati, dan falsafah Jawa, dipangku mati, lebih efektif. Bagaimana jika ada pihak yang mendekati si anak nakal ini malah dituduh tidak simpati pada para korban, tidak sesederhana itu menghadapi kenakalan anak.
Ilustrasi lain. Â Kekerasan dalam keluarga itu sebelum diputus di pengadilan tentu akan ada mediasi. Kedua pihak diajak oleh mediator untuk mencari jalan lain selain perceraian. Jika pelaku KDRT bisa mengubah sikapnya, si korban memberikan kesempatan, tentu akan diupayakan rujuk dulu. Nah ada pembicaraan, pendekatan, dan upaya, kedua belah pihak bukan? Jangan kemudian ketika pendekatan ada pelaku dianggap sebagai menghianati korban. Kesempatan yang ada itu harus sama.
Kepentingan global juga menentukan. Banyak kog konflik politis ini, mengapa hanya Israel saja yang ribut tidak ketulungan. Ada pihak yang memang menggunakannya untuk selalu demikian. Mengapa tidak ribut dan ribet soal Yaman dan Saudi? Karena beritanya tidak semasif Israel misalnya. Siapa yang mengendalikan berita? Ya jelas mereka yang menguasai dunia ini, terutama medianya.
Tidak perlu sensi berlebihan menghadapi persoalan politik negara lain, apalagi hanya tahu sekilas-sekilas. Kepentingan di balik itu bisa banyak banget, dan bisa saja dukungan itu malah sebenarnya telikungan. Apa yang maunya membantu malah menjadi batu sandungan. Sama juga dengan monyet membantu ikan yang terseret arus ke atas pohon. Â Apa yang maksudnya membantu malah membuat celaka.