Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PT Nol Persen, Apa yang Terjadi?

15 Juni 2018   05:00 Diperbarui: 15 Juni 2018   05:19 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PT nol persen, apa yang akan terjadi coba? Jika ambang batas penyalonan presiden seperti kehendak beberapa pihak dan kelompok adalah nol persen, atau tanpa batas, apa yang terjadi? benar satu sisi adalah hak politik warga negara, namun toh sepanjang hidup di dunia sangat kecil kemungkinannya ideal dan yang sempurna. Kebebasan pun akan beririsan dengan kebebasan pihak lain. Apakah ini melanggar hukum atau hak kebebasan? Jelas tidak, karena ada konsensus lain, yang telah disepakati bersama.

Ambil contoh, mengapa tidak ada gugatan atau ungkapan mengapa orang yang tidak mengenakan helm saat berkendara dengan sepeda motor ditilang sebagai melanggar hak asazi, kan bisa saja orang tidak mau dibebani dengan helm? Karena ada peraturan yang mengharuskan orang untuk mengenakan helm demi menjaga terhadap benturan jika ada kecelakaan. Jelas ada hal yang dikalahkan, kebebasan pribadi, perasaan berat, tertekan, demi kepentingan lebih besar, yaitu benturan kepala jika jatuh, bisa membawa pada kematian.

Apakah mudah penerapan wajib helm bagi pengendara sepeda motor ini? Sangat tidak mudah, terbatas dulu, kawasan tertentu, kemudian wajib di seluruh jalan raya, dengan toleransi helm asal helm. Meningkatkan helm menjadi standart seperti ini pun dengan pemaksaan, dan ketika sudah tahu manfaatnya, helm ratusan ribu, bahkan jutaan pun dibeli.

Benar bahwa PT sebenarnya tidak perlu, jika memang negara sudah maju, dan banyak politikus tahu diri, serta memahami bahwa menjadi presiden itu sebuah pengabdian bukan hanya mencari pekerjaan. Bukti bahwa hanya mengarah kursi dan kekuasaan, sedang amanat, tanggung jawab, serta pengabdian itu jauh dari pemikiran, adalah, mana ada kandidat, atau calon presiden dan wakil presiden, yang selama ini siap dan telah bersafari, bergerilya, dan gembar-gembor itu menyatakan setitik saja ide untuk memajukan bangsa ini? Nol besar.

PT yang telah diketok 20% kursi dewan dan 25% suara nasional itu pun masih digugat dan sudah diputuskan oleh MK bahwa hal itu tidak melanggar hukum dan jelas keputusannya. Eh kini ada lagi gagasan untuk menggugat itu, entah dengan pertimbangan apa. Yang jelas adalah  hingga hari ini PT masih dibutuhkan dengan pertimbangan:

Satu, banyaknya calon bukan berarti baiknya kualitas pemilu dan calon. Melihat siapa-siapa yang semangat untuk ikut berkompetisi toh tidak ada yang menjanjikan program, hanya bisa menjatuhkan calon lain dan sering tidak mendasar.  Hal ini saja memperlihatkan tidak berpengaruh signifikan dengan banyaknya calon dan kualitas pemimpin yang akan dipilih.

Dua, melihat rekam jejak dewan selama ini, susah membayangkan kalau presiden yang terpilih itu berasal dari partai yang tidak memiliki cukup banyak kursi di dewan. entah apa yang akan terjadi. Jelas saja sikap boikot kanak-kanak jauh lebih mungkin terjadi.

Tiga, sistem berdemokrasi yang masih mengandalkan okol-okolan dan berujung pada akal-akalan, memang harus ketat mengatur setiap gerak langkahnya. Miris sebenarnya negara sebesar Indonesia, namun masih maaf biadab, kurang beradab sehingga terlalu banyak aturan. Aturan ada untu dilanggar lebih mengemuka daripada mengatur tertib hidup bersama.

Empat, sistem bernegara yang masih saling sandera demi kepentingan sendiri di atas kepentingan hidup berbangsa sangat dominan. Lihat bagaimana pernyataan-pernyataan elit, lebih cenderung egoisme sektarian, keakuan, kelompok, label yang sama, dan sejenisnya, meskipun itu menodai hidup bersama, tidak penting.

Apa yang sekiranya perlu pembenahan untuk mengatasi kekacauan bernegara bangsa ini?

Sistem pemerintahan adalah presidensial, namun mengapa begitu dominannya dewan, ingat awal pemerintahan dan Kabinet Kerja dulu? Sandera KMP demikian kuat dan menghambat kinerja, apakah itu sudah hilang? Belum. Harus dibenahi dengan penuh kesadaran bahwa pengawasan bukan ugal-ugalan seolah pemerintah bisa ditekan oleh legeslator, sisi lain, legeslator pemalas di dalam menyusun RUU. Kalau anggaran dan kepentingan mereka, cepatnya minta ampun.

Penyederhanaan parpol dengan ambang batas parlemen yang lebih tinggi. Jangan lagi menggunakan HAM dan kebebasan berpendapat dan berkumpul lagi. Partai banyak juga tidak berguna dan tidak membuat keadaan lebih baik juga. Pembenahan bernegara termasuk partai politik sangat penting dan mendesak untuk memperbaiki negara ini. Tidak hanya melakukan kritik namun mereka sendiri banyak bopeng.

Berlatih untuk taat konsensus dan hukum. Tidak melakukan apapun sepanjang bertentangan dengan kepentingan sendiri tidak mau tunduk, pas perlu ikut, model anak sableng ya begitu. Lihat saja selama ini yang menggerogoti bangsa ini adalah elit yang senangnya mementingkan golongannya. Melanggar hukum pun dibela asal sejalan dengan mereka atau memperlemah pihak seberang. Ini bukan pemikiran modern, namun pemikiran bodoh namun sok pintar.

Pendidikan perlu mengajarkan sikap rendah hati dan diikuti dengan sikap tahu diri. Jadi kalau sudah kalah ya mengakui dengan jiwa besar. Kalau menang tidak menjadi jumawa dan menyadari tugas itu ada pertanggungjawaban.

Bangsa ini mengaku bangsa beragama, bahkan seolah agama itu berhala sehingga tidak bisa tersentuh, sedikit-sedikit penodaan agama, tapi memfitnah, berbohong, memutarbalikan fakta, dan bahasa celaan seolah menjadi gaya baru, apa ini ciri pribadi beragama? Jelas bukan.

Apakah negeri ini hanya akan begini-begini saja? Tentu tidak bukan, ingin menjadi bangsa yang lebih besar lagi, dan itu ada di tangan kita semua.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun