Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi Itu Soal Jiwa Bukan Jumlah

6 Juni 2018   08:03 Diperbarui: 6 Juni 2018   09:04 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Toleransi itu soal jiwa, bukan jumlah, jadi ingat beberapa waktu yang lalu, cukup lama juga, dalam sebuah komentar di artikel dengan tema toleransi, ada sebuah pernyataan hanya kelompok minoritas yang suka toleransi dan Pancasila.... Karena merasa tidak penting untuk ditanggapi, dan memang pola pikirnya seperti itu, ya hanya normatif saja kala itu jawaban saya. Jadi teringat ketika kemarin berjalan-jalan dengan rekan lama.

Toleransi itu bukan soal jumlah, besar atau kecil, namun sikap batin, atau jiwa. Kami berempat, tiga Katolik, satu haji. Setiap memasuki waktu ibadah, kami bangunkan dan tanya, mau mampir masjid atau pom bensin, dia menjawab nanti bisa kog disatukan. Ingat jumlah kami tiga, bukan memanksa yang satu untuk terus jalan.  Kami juga tidak makan dan minum, meskipun bagi rekan haji ini tidak menjadi soal. Ini skala kecil, yang juga sama bagi jiwa yang besar akan menghadapinya.

Toleransi juga mengandaikan jiwa besar, bukan jumlah besar. Sejak kecil, bahkan bayi, saya hidup di antara 99,9% Muslim, dengan lima pesantren dan suara masjid yang selalu sama, ramai dengan panggilan ibadah. Apakah itu menggangu saya terutama dalam iman? Tidak sama sekali, bahkan kotbah pun saya dengarkan, ingat bukan hanya mendengar, saya mndengarkan. Saya hapal siapa berkotbah akan seberapa lama, kalau itu akan cepat banget, dia kurang persiapan, dan sebagainya. Iman saya tetap dalam pandangan saya, selain itu biar Tuhan yang menilai. Apakah karena saya takut, tidak ada ketakutan dalam iman saya.

Toleransi itu memperbesar persamaan dan seminimal mungkin mereduksi hal-hal yang berbeda. Ingat ini bukan bicara soal dogma atau keyakinan, apalagi syahadat. Jika berbicara itu ya jelas akan menjadi pertikaian.  Ketika kami bukber kemarin, teman saya mengatakan nabi mengatakan makanlah dengan semangat, berkomentar atas cara makan teman yang memang dhokoh, ia menambahkan nabi ku begitu, pun nabi kalian akan sama demikian. Nah ini bukan yang dogmatis yang menjadi jembatan namun ada kesamaan dalam cara pandang.

Rekan lain berkomentar atas wajah kami yang kelaparan, iyalah, ada sate di depan kami, namun waktu berbuka belum sampai. Ingat dan lihat ini jembatan kebersamaan untuk menghormati yang puasa. Kami tidak memaksakan diri untuk makan. Kedua rekan saya sudah mempersilakan sebenarnya, namun kurang seru bukan?

Toleransi itu sikap batin, bukan paksaan dan hukuman. Dulu, di jalan masuk kampung, ada spanduk yang berisi kawasan wajib puasa. Cuek saja kami, tidak merasa juga terganggu. Nyatanya ada anak pesantren yang di kebun samping rumah malah memetik degan dan dengan bangga saling tanya sudah berapa kali bolong. Khas anak asrama, saya tahu betul melanggar itu kebanggaan. Padahal sejak kecil, memasuki bukan Ramadan, jangan sampai makan dan minum di luar rumah, bapak akan marah besar. Hal yang hanya terjadi jika puasa dan makan di luar. Jadi sudah sangat biasa.

Toleransi itu perlu kedewasaan bukan kekerdilan. Sering orang ingin dimengerti bahwa sedang ini dan itu, hal yang menunjukkan jiwa kerdil dan kekanak-kanakan. Memang menghormati itu penting, namun bukan berarti penghormatan itu tuntutan. Mengapa harus memaksa, jika melakukan ibadah. Perilaku jamak terjadi jika merasa lebih banyak. Pemaksaan kehendak bukan menjadi solusi bagi hidup bersama dan plural seperti bangsa ini.

Sikap batin baik ini, tidak mudah, ketika orang mengedepankan sikap curiga terlebih dahulu. Orang membuka warung, orang makan, orang minum, sebenarynya sangat biasa. Kalau dilabeli sebagai menggoda, mengiming-imingi, ya susah. Sikap batin yang perlu diubah. Padahal jauh lebih bernilai ketika mampu melihat itu sebagai ujian dan bisa menghadapi dengan sukses. Ini sikap batin yang perlu dikembangkan tentunya.

Melihat perbedaan sebagai hal yang sangat lumrah. Bagaimana menyeragamkan, sedang bapak dan ibu yang ada di paling dekat saja sudah jelas dua jenis yang berbeda. Kalau bapak atau ibunya keduanya sama kan malah heboh bukan? Perlu kejernihan akal budi untuk bersikap. Pendidikan sangat penting untuk ini.

Yakin dengan iman sendiri. Keyakinan sangat membantu sehingga tidak akan mudah orang lain sebagai pihak yang berkehendak untuk mengubah keyakinan seseorang. Lha mosok roti, mie instan, atau kopi bisa mengubah iman sih? Sikap dan kecurigaan berlebihan yang ada, sering membuat curiga, paraoid, dan ujung-ujungnya ribut. Padahal iman kan soal hati, sikap batin, bagaimana bisa dengan mudahnya tergadai atau tergantikan dengan roti dan sejenisnya.

Memahami agama dan pengetahuan agama sendiri dengan sangat baik, akan membantu. Jika diri sendiri kuat dalam iman, mau ada roti satu truk pun tidak akan goyah. Lihat bagaimana pesilat melatih kuda-kudanya, bukan mencurigai jurus lawan bukan? Jika kuda-kudanya bagus, mau diserang seperti apapun, ya tidak akan terpengaruh, tentu ini hanya ilustrasi, kalau malah bahas ini, lebih baik belajar lagi daripada malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun