Jabatan itu kepercayaan. Kepercayaan itu lebih berkaitan dengan ranah rasa, bukan rasio. Ranah rasa berkaitan dengan waktu dan kesempatan. Ada dalam istilah Jawa pulung, momentum, waktu, itu tidak bisa dikejar, dipaksakan, dan dikejar dengan upaya apapun.
Pasrah itu bukan kamus politikus, namun melihat pola kedua tokoh di atas, hal ini nampaknya, bisa dipakai. Pasrah itu mirip dengan penumpang bus malam, di mana penumpang tidur mau dibawa ke mana oleh sopir tidak tahu. Nyaman dengan tidurnya, tanpa upaya berlebihan untuk mengejar tujuan. Menikmati perjalanan dengan santai. Memasrahkan pada rencana Ilahi. Pun BG dan Moeldoko bisa.
Upaya dan usaha tidak berlebihan, pun masih sangat-sangat wajar. Jelas lah namanya usaha tetap ada. Namun sangat sederhana, tidak dengan berlebihan yang bisa membuat panas keadaan. Orang juga tidak tersinggung, tidak menciptakan permusuhan dan persaingan dengan berlebihan.
Jabatan, kursi, kekuasan, itu memang bisa dikejar, namun jauh lebih bermakna jika diberikan. Legalitas kekuasaan yang demikian jauh lebih bermakna dan bernilai, daripada mendapatkannya dengan kudeta misalnya. Memang bukan kudeta dengan menggulingkan kursi atau jabatan dengan senjata misalnya. Namun jika ancaman, atau menjelek-jelekan pihak lain, apa bukan "kudeta" dalam arti tertentu?
Memang tidak mudah ketika gaya berpolitik, mendapatkan kekuasaan cenderung mengedepankan hasil tanpa menghargai proses, susah juga menerapkan prinsip politik beretika. Karena model ini perlu sabar, kesetiaan, dan kemauan kerja keras. Sebaliknya yang ada adalah budaya instan, potong kompas, dan menang sendiri dengan mengalahkan pihak lain, jalan tidak penting. Tidak heran fitnah pun biasa saja. Demokrasi setengah fakta menjadi gaya hidup yang tidak membuat malu, bahkan mengaku beragama sekalipun.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H