Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sertifikat Tanah untuk Rumah Ibadah, Penting atau Tidak?

16 April 2018   05:20 Diperbarui: 16 April 2018   23:15 3512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: kompas.com)

Sertifikat tanah untuk rumah ibadah, penting atau tidak? Ini jelas bukan soal pendirian rumah ibadah, atau polemik soal agama, justru keadaan yang bisa runyam oleh umat beragama sendiri. Keberadaan rumah ibadah, khususnya di kampung-kampung, yang berasal dari pemberian warga, umat, jemaat, atau bantuan milik pribadi yang kemudian berkembang dipakai untuk umum, jamak terjadi. Sekali lagi, bukan soal agama. Kaitan dengan hukum, bukan juga soal kibul mengibul sertifikat, jika mau reseh dengan dua tema yang mau dipaksakan itu, tidak perlu, bosan.

Kisah otentik satunya baru banget, satunya berkaitan juga dengan kisah lain yang senada, sudah lebih dari satu dekade lalu.  Soal keberadaan rumah ibadah yang menjadi dan potensi menjadi masalah. Tanpa perlu menyebut ruah ibadah apa daripada menjadi bias dan sensi.

Kisah satu, seorang bapak memiliki sebidang tanah yang dibangun untuk rumah beliau, rumah ibadah di tengah, dan rumah sang putera di sisi lain. Jadi dua rumah dan satu rumah ibadah ini dalam sebidang tanah. Karena mendengar di darah lain, ada keturunan yang menggugat untuk membayar tanah yang dipakai untuk tempat ibadah, bapak ini berinisiatif membuat sertifikat untuk rumahnya, rumah puteranya, dan rumah ibadah tersebut.

Bapak itu mengatakan kepada saya, "Iya, Mas sekarang, saya yakin anak, atau cucu saya tidak akan nguthik-uthik itu, lha nanti, cicit dan seterusnya, siapa yang tahu."Demikian kesadarannya jauh kemudian tahun, bisa malah puluhan tahun, ketika beliau sudah meninggal. Anak dan cucu sangat kecil kemungkinan untuk menggugat, namun keturunan selanjutnya belum tentu.

Kisah kedua, dekat rumah, cucu yang memberikan tanah untuk rumah ibadah menuntut untuk dibayar. Memang harga tidak semahal harga pasaran sekitarnya, namun menjadi aneh dan lucu ketika jemaah harus iuran untuk membeli tanah yang puluhan tahun telah menjadi rumah iadah tersebut. Si cucu ini pun ikut juga memakai rumah ibdah tersebut. Ternyata beberapa tempat sudah ada hal yang sama. Minta bayar tanah yang dulu oleh nenek moyangnya telah disumbangkan bagi rumah ibadah.

Ada ungkapan dalamnya lautan bisa diselami, namun dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Benar juga mungkin beberapa puluh atau seratus tahun lalu, tanah sangat murah, dengan mudah diberikan sebagai fasilitas umum, salah satunya rumah ibadah. Tidak akan ada surat menyurat untuk hal demikian, berpikir soal besar upah untuk kemudian hari, dalam hidup abadi. Nah ternyata zaman berubah. Tanah menjadi demikian mahal. Dulu jual beli tanah hanya mengatakan besaran kira-kira, sekarang, semeter bisa menjadi clurit bicara.

Sertifikat tanah menjadi mendesak dan penting, untuk memberikan jaminan hukum atas tanah yang dipakai sebagai rumah ibadah. Ingat lepas dari soal kibul mengibul. Dengan demikian, keberadaan rumah ibadah menjadi sah milik bersama, bukan lagi milik keluarga tertentu. Anak keturunan pemilik tanah yang sudah menyumbangkan tersebut sampai kapanpun tidak lagi memiliki hak dan wewenang, untuk mengugat, menjual, atau minta ganti untung sama sekali.

Demi mengurangi potensi itu, jika ada yang mau memberikan tanah sebagai fasilitas umum, khususnya rumah ibadah membuat surat bermeterai, jika mungkin notaris, minimal pihak keluruhan, kantor desa, jangan hanya RT atau RW yang kurang kuat jika ada gugatan. Dengan adanya saksi yang cukup kuat, setingkat desa/kelurahan, ahli waris menandatangani penyerahan itu dan ada keterangan bahwa memang tidak ada hak lagi, sampai kapanpun. Hal ini untuk berjaga-jaganya, namanya harta itu enak dan menggiurkan, jangan sampai, nanti, mengatakan itu kan kata kakek.

Kesadaran bagi para keturunan yang sayang tanahnya sudah dipakai untuk rumah ibadah. Bahwa kakek-nenek moyang mereka sudah berbuat kebajikan, jangan malah dirampok oleh keturunannya sendiri.  Kasihan moyang yang sudah beristirahat dengan damai.

Potensi perselisihan dalam keluarga juga dapat dikurangi dengan adanya sertifikat. Satu dua yang pengin uang, ada juga yang pastinya rela, toh itu bukan hak mereka lagi, namun bahwa pro kontra akan ada. Dengan kepastian hukum tersebut semua tentu akan dapat disatukan. Tidak akan ada yang bisa mengutak atik sertifikat tersebut.

Potensi  masalah ini dari hari ke hari akan terus terjadi, jika kepastian hukum dan pembuatan sertifikat tidak menjadi prioritas. Harga tanah yang makin tinggi, kesukaan membuat rumah di tanah juga belum berubah, orang bisa menjadi gelap mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun