Amien Rais dan PAN, akankah membuat poros tengah jilid II, bisa jadi akan ada tiga kelompok besar untuk pilpres 2019 mendatang. Dengan PT 20% kursi dewan atau 25% Â suara sah nasional, secara teori bisa ada empat kandidat atau gerbong besar. Namun tentu tidak sebulat matematis, karena adanya tarik menarik ke sana, sehingga hanya akan bisa terjadi tiga kelompok besar.
Gerbong besar  pertama yang sudah lebih mengerucut dan membentuk arah yang hampir pasti, ada padan PDI-P dan kawan-kawan yang telah menyatakan mengusung Pak Jokowi. Mereka adalah Golkar dengan 91 kursi atau 14,75 % suara, P3 dengan modal 39 kursi atau 6,53 % suara, Nasdem memiliki 6, 72 % suara dengan 35 kursi, diikuti Hanura dengan 5,26 % suara yang mewakilkan 16 kursi, dan gerbong utama dengan 109 kursi dengan suara 18,95 % pada PDI-P.
Gerbong kedua dengan motor utama Gerindra dengan modal awal 73 kursi atau setara dengan 11,81% suara, sangat mungkin melihat kebersamaan dalam banyak pilkada akan ada tambahan suara atau kursi dari PKS dengan 40 kursi atau setara dengan 6, 79 % suara. Dengan syarat minimal kursi 112, masih bisa dengan koalisi minimalis.
Posisi masih belum menentukan dengan pasti arahnya, tentu menunggu ini dan itu, trik demi 2019 juga masih ada PKB dengan 47 kursi atau setara dengan 9,04 %, Demokrat yang biasa menglaim diri sebagai penyeimbang dengan 61 kursi atau setara dengan 10, 19% suara, dan PAN yang ada di sana sini dengan 49 kursi yang memiliki suara 7, 59%.
Sangat riskan dengan melihat peta baik kursi atau jumlah suara, yang akan hancur berantakan jika ada satu saja yang tergoda untuk beralih pada gerbong lain. Paling mungkin hanya ada dua pasang sebagai bentuk paling aman dan mungkin, meskipun memang masih ada satu kemungkinan dan secara matematis politis memang demikian.
PAN dan Amien Rais yang pernah berpengalaman membuat jalur tengah, poros tengah, dan kebersamaan alternatif bisa saja, namun melihat beberapa hal nampaknya tidak akan dilakukan. Lebih cenderung merapat pada kelompok kebersamaan dengan Gerindra sebagaimana pilpres lalu dan pilkada di banyak tempat, meskipun ada dalam kabinet kali ini.
Beberapa hal yang membuat susah adanya poros alternatif sebagai berikut;
Kondisi '99 dan '19, berbeda jauh. Pemilihan lewat MPR relatif lebih mudah. Apalagi kala itu masih relatif sangat muda demokrasi, dibandingkan sekarang ini. Saat ini peta perpolitikan juga berubah drastis dan berbeda dengan saat itu. Kala itu Amien Rais demikian didengarkan, saat ini tidak lagi.
Kebersamaan dengan Pak Prabowo dalam isu-isu tertentu lebih dekat daripada sekadar kebersamaan dengan pemerintah. Artinya, kecil kemungkinan gembosikebersamaan di dalam kelompok Gerindra dan kawan-kawan. Lebih cenderung ke sana.
Posisi jika membentuk alternatif, katakanlah dengan PKB dan  Demokrat bisa terjalin dengan apik dan kuat, ketokohan yang ada di sana, ada Pak Agus, Pak Zul, dan Pak Imin tentunya. Jika melihat kontribusi dan distribusi suara tentu milik Demokrat, namun apa cukup untuk menarik pemilih dan pengalaman Pak Agus sebagai bakal calon RI-1. Apakah dengan mudah mau berbalik keadaan dengan Pak Zul sebagai bakal calon presiden dan Pak Agus wakil, lha Pak Imin. Kombinasi yang tidak menjual dan susah malah.
Suara dan sikap Pak Zul juga tidak menjanjikan. Representasi luar Jawa saja yang menjual, selain itu nol. Komentar dan sikapnya dalam menghadapi korupsi membuat pemilih enggan. Tidak sekali dua kali kecenderungan membenarkan perilaku korup dengan berbagai dalih bisa dipersepsikan mau mengubah persepsi massa soal korupsi. Tentu hal yang berbahaya bagi pribadi yang akan memiliki kekuasaan jauh lebih besar dan langsung berkaitan dengan birokrasi dan berbangsa-bernegara.