Fahri Hamzah nemu duet F baru, Fredrich Yunadi, duet dalam hal membela diri berlebihan yang membuat makin curiga dan bertanya-tanya kalau memang tidak ada kesalahan, mengapa harus berlebih-lebihan demikian di dalam menghadapi KPK khususnya. Sebenarnya sederhana sekali, baik bagi Fahri ataupun duet barunya Fredrich, jika memang tidak salah, hadapi saja peradilan dengan semestinya, kan semua bisa dilihat dengan jelas, gamblang, dan apa adanya. Kalau tidak percaya dengan peradilan ya patut dipertanyakan satu pengacara, satunya wakil ketua dewan independen. Kan aneh menyatakan negara hukum, eh membentuk opini yang aneh dan lucu.
Fahri Hamzah. Seperti emak-emak kehilangan munthu, mau nyambel eh pasangan cobek ini hilang, ngamu gak karuan wajar. Lha ini  baru disebut Nazar saja bak kebakaran jenggot. Padahal Ibas sering banget disebut-sebut Nazar juga biasa saja, tidak atau belum dipanggil KPK, mengapa malah teriak-teriak, nuduh konspirasi segala kepada KPK. Padahal jika KPK sumbu pendek, bisa saja Fahri dilaporkan kepolisian sebagai tindakan tidak menyenangkan, ujaran kebencian, atau fitnah, pencemaran nama baik. Eits jangan mengatasnamakan anggota dewan yang terhormat, lho, anggota dewan terpecat iya. Anggota dewan yang imun itu ketika berbicara di dalam sidang, berkaitan dengan kinerja bukan soal tuduhan dala kaitan dengan korupsi dan kriminal, enak saja kalau imun kemudian memperkosa janda sebelah ngaku imun karena anggota dewan. gundulmu amoh imunitas nek kriminal lan bejad.
Kalau merasa Nazar memfitnah daripada nuduh KPK konspirasi, jauh lebih cerdas dan bijak melaporkan ke  kepolisian siapa pegawai atau pimpinan KPK yang melakukan konspirasi dan jelas Nazar yang menuduh, memfitnah, dan menghina pimpinan dewan, gampang kog, mengapa ngamuk-ngamuk seperti orang tidak tahu hukum saja? Aneh dan ajaib reaksi yang diberikan. Katanya kandidat presiden yang muda, bersih, dan cerdas, nampaknya hal itu tidak nampak karena kalah oleh emosi yang membuat nampak kualitas sesungguhnya.
Fredrich Yunadi. Ini juga identik, bagaimana malu mengenakan rompii orange dan pesan rompi pengadilan. Lha dalah, ini pengacara atau apa sih, merasa direndahkan, dihina, lah kalau mau terhormat ya jangan berbuat melanggar hukum. Izin periksa dokter praktek dini hari, lha apa tidak kasihan pengawal, ingat di bui bukan lagi dibuai, kemewahan. Ingat bagaimana pedenya ketika mengatakan ke luar negeri dengan uang milyat, atau dibela ratusan pengacara, mana itu semua?
Duet F tadi memberikan gambaran bahwa peradilan di sini bisa "ditekan" dengan opini yang luar biasa masif, terus menerus, dan tentu kekuatan bisa finansial atau juga kekuasaan. Jika tidak tentu mereka tidak akan menggunakan opini, konpres, dan sejenisnya demi membersihkan diri dan nama baiknya (jika masih punya atau memangnya pernah punya?). Idealnya adalah pengadilan yang bisa  membuktikan benar dan salahnya orang, bukan pembelaan diri yang nampak belepotan dan malah tidak meyakinkan demikian. Mereka punya akses untuk peradilan yang bermartabat, mengapa malah memilih jalan demikian? Aneh dan lucu sebenarnya.
Tentu juga semua paham bagaimana peradilan di Indonesia, masih bisa terbeli, jika kaliber pengacara orang besar, pimpinan dewan saja melakukan tindakan di luar prosedur hukum, artinya mereka "takut" dengan reputtasi peradilan, bagaimana awam, rakyat, dan masyarakat biasa? Seharusnya mereka yang terlibat secara langsung di dalam dunia hukum bertindak, bukan malah berteriak-teriak kepada media demikian. Reformasi hukum bahkan mungkin revolusi hukum, jika demikian jauh lebih berkelas dan mungkin tidak susah-susah akan menjadi presiden bukan bingung cari parpol akan didorong masyarakat untuk itu.
Penyelesaian hukum sering lebih banyak politis, kompromi, saling sandera, dan sering permisif. Aneh dan lucunya negeri ini, permisif pada kejahatan dan pelanggaran, tapi sangat sadis pada hal-hal yang tidak esensial. Ingat karena mau memperbaiki sound saja mati karena diduga mau maling, sedang maling-masling berdasi ngoceh ke mana-mana malah belum mati dimassa. Pisahkan hukum ya hukum, politik ya politik, jangan seperti anak kecil yang merengek dan gulung koming atas perilaku sendiri.
Jika orang itu bersih, mengapa harus berlebihan mempertahankan diri sih? Kan jelas memang bersih, apanya yang harus dikatakan kalau bersih. Coba baju putih itu, apa yang harus dibuktikan tidak ada nodanya? Berikan saja demikian, akan terbukti sendiri kog. Apalagi jaminan dari Setya Novanto bahkan 100% bersih, sayangnya yang mengatakan itu bersihnya juga seperti apa tidak jelas. Atau gambaran ini mau menunjukkan bahwa kebenaran, kebersihan, dan fakta di Indonesia ini masih sumir, bisa sesuai dengan kehendak penguasa, pemodal, dan yang memiliki akses mengubah itu? Jika demikian, ya sudah tinggal menunggu kiamat.
Kebenaran sejati memang tidak ada sepanjang di dunia, namun tentu ada kebenaran universal, di sini atas dasar Pancasila dan UUD' 45 dan turunannya jelas. Namun jika konsensus bersama itu saja sudah ditafsirkan sendiri ya sudah, hidup bersama sepanjang sesuai dengan keakuan sendiri.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H