Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisasi Musuh Humanisasi

14 Februari 2018   17:20 Diperbarui: 15 Februari 2018   09:43 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politisasi musuh humanisasi, menarik apa yang ditampilkan politikus dan gaya mereka berpolitik di negeri ini. Bagaimana mereka bersikap, memilih, dan menggunakan cara-cara yang abai etika apalagi kemanusiaan. Kekayaan dan kemewahan di tengah kemiskinan pun bukan menjadi persoalan bagi pejabat dan elit negeri ini. urusanmu kenapa miskin, begitu mungkin pemikirannya. 

Mau maling, mau nerima suap, bukan menjadi bagian pertimbangan. Yang penting kaya, ketangkap polisi, kejaksaan, atau KPK, apes, toh kurang paling 10% untuk biaya ini dan itu. Terbaru, bakal calon gubernur NTT yang mahakaya di tengah kemiskinan NTT sebenarnya miris. Pun kisah Asmat itu.

Kekuasaan menjadi tujuan, bukan politik kesejahteraan. Tentu paham siapa yang berpola demikian, siapa yang menggunakan politik dengan bener, dan siapa yang menggunakan sekadar kedok. Sebenarnya masih banyak kog petinggi negeri ini yang baik. Sayang mereka kalah telak dalam corong dan wacana. Di sinilah sebenarnya peran LSM dan masyarakat, menyuarakan dan menggelorakan politik baik dan kesejahteraan. Politik menjadi kendaraan sendiri demi ambisi pribadi dan kelompok. Bangsa dan negara serta masyarakat jelas menjadi korban dan bahkan termasuk menjadi sasaran mereka untuk dirampok.

Politik abai etika pelayanan. Tentu hal yang jelas dan gamblang, bagaimana sekian puluh tahun hidup di dalam era kemerdekaan namun tidak juga berubah mengapa demikian? Ya jelas karena memang yang ada adalah kekuasaan dan elit tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemodal yang berkelindan dengan kekuasaan, bahkan saking eratnya tidak lagi bisa dipisahkan, mana pemodal, mana pejabat dan petinggi negeri. Penguasaan tambang dan kekayaan negeri ini siapa sih, ya itu-itu saja, lebih mengerikan pun mereka menjadi pejabat baik eksekutif ataupun legislatif.

Hidup bersama direduksi menjadi hubungan politik di antara kekuasan tanpa adanya etika kontrol. konkret, faktual, terbaru, dan susah disangkal. Bagaimana pimpinan dewan dengan gaya di depan mobil mewah berderet-deret padahal di sekitarnya jelas banyak yang sedang kesulitan. Jika etika moral berbicara, akan malu, namun tidak bukan? Siapa sih yang tidak tahu betapa maaf miskinnya NTT dibandingkan dengan kekayaan bupati yang kena OTT coba, bagaimana ia bisa berlaku seperti itu. 

Jika, jika saja mau sedikit peduli, bahwa itu adalah rakyat sendiri, yang berarti adalah saudaranya juga tidak akan orang tega maling sehingga menyengsarakan banyak orang. Coba bayangkan, kalau jembatan yang biayanya dikorup 30%, tentu faktor ketahanan dan usainya juga berkurang sebesar paling tidak 30%. Korbannya adalah saudara sendiri. Zaman kolonial sih bisa dipahami mereka tidak memiliki ikatan batin dan ikatan darah, semua dihisap dengan begitu saja ya sudah. Lha ini bangsa sendiri.

Apa yang salah dengan negeri ini dan politikusnya?

Jelas tabiat gampang lupa yang dimanfaatkan kolonial ratusan tahun lalu. Eh ternyata dimanfaatkan politikus busuk yang gila kekayaan bangsa ini. Hal yang jelas mereka ketahui bahwa tabiat bangsa ini gampang lupa. Diberi kebaikan sedikit saja sudah lupa maling dna perilaku buruk sebelumnya. Lihat bagaimana politius maling pun pembelanya banyak, karena digelontori uang, kekayaan, dan kadang hanya dikucuri sedikit sudah memilih lagi.

Pendidikan yang  tidak memberikan kecerdasan spiritual, hanya pada otak yang gampang dikamuflasekan. Jika cerdas spirtual dan emosional tidak akan kacau dengan kebaikan hakiki atau hanya kebaikan semu. Jelas kok reputasi mereka tidak akan berubah, apalagi makin besar kekuasaan yang dimiliki. Lha bagaimana mau berubah, di penjara karena maling saja dilantik menjadi kepala daerah yang bisa merampok dengan leluasa.

Pemahaman agama tidak cukup dengan hafalan dan rapalan semata. Namun juga penghayatan, menghidupi apa yang mereka ketahui. Jika demikian, orang akan malu maling tangannya namun mulutnya menyatakan kemuliaan Tuhan. Hatinya mati jika bisa berbuat demikian.

Politik digunakan untuk manusia, bukan sebaliknya, manusia menjadi budak politik. Jika kemanusiaan ada di atas politik, tentu kemanusiaan akan dihargai. Akan berpikir apa akibatnya jika mengeruk dengan seenaknya sendiri kekayaan alam, mengurangi uang pemmbangunan, keselamatan dan kemanusiaan dihancurkan. B

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun