Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan pada Polisi dan Wajah Kepolisian

26 Januari 2018   07:02 Diperbarui: 26 Januari 2018   15:20 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan pada polisi dan wajah kepolisian, dalam sepakan ada dua berita mengenai kekerasan pada polisi, pertama polisi diseret penerobos jalur yang tidak semestinya. 

Tanga patah karena diseret sekitar 10 meter. Kedua, polwan dihantam mukanyaoleh sopir. Deretan akan panjang jika mau menjejerkan peristiwa demikian. 

Dulu, hanya teroris yang menyasar polisi dan kantor atau pos polisi karena dendam "teman-temannya" ditangkam baik hidup atau mati. Agak reda, eh berubah, justru warga biasa yang berani melawan dengan banyak cara. 

Paling menakutkan ketika "perlawanan dan pelecehan" sudah dimulai dari lapisan paling bawah. Rakyat biasa, dengan alasan sepele, dan hingga nyawa pun tidak dipedulikan lagi.

Contoh dari pesohor. Kondisi lapangan, lapisan jalanan, karena melihat apa yang dipertontonkan para pesohor, baik artis, pejabat, ataupun leit partai politik yang bisa memperlakukan polisi dengan seenaknya sendiri. Tentu dengan level dan kondisi yang berbeda-beda. Hal ini termasuk bentrok antara polisi dan militer yang selalu terulang.

Penyelesaian yang tidak jelas. Jarang ada penyelesaian hukum dan persidangan atas "konflik" beginian, berbeda ketika militer lebih rendah, polisi lebih tinggi, akan diselesaikan, apa pernah sebaliknya. Sepertinya kisah tentara stres menonjok polisi dan dimaklumi itu bisa menjadi sebentuh pembenaran bahwa polisi juga manusia, tonjok saja habis perkara. Pemberi contih dan keteladanan yang sangat masif apalagi media internet bebas sensor dan bebas waktu serta tempat.

Kewibawaan yang terorong. Kisah panjang sebenarnya soal polisi. Yang dijalan sebagai etalase kepolisian sangat jauh dari nilai baik sejak sangat lama. Era dulu memang tidak akan berani melawan apapun perilakunya. 

Namun istilah pelecehan, wereng coklat, pas pergantian seragam, atau suap sangat kecil karena melanggar aturan lalin, sembunyi untuk "menjebak" pelanggar lalin, jelas dipanen ketika keadaan bebas seperti saat ini. akumulasi panjang. Istilah dagelan, laporan kehilangan kambing malah tambah kehilangan sapi, menambah deret panjang rongrongan kewibaan polisi.

Rekrutmen yang masih nyaring terdengar karena uang. Jangan heran dan kaget, saat ada polisi masih kecil, baru lulus SMA dan pendidikan, ditanya orang bayar berapa? Akan nyerocos. Ini fakta, apalagi yang beruba desas-desus. Toh kisah seleksi akpol dari dua polda kemarin tidak ada keterangan ke publik apa penyelesaiannya. Itu bukan selesai, dipahami diselesaikan dengan ditutupi-tutupi, ini bawah sadar bahwa memang seleksinya bau uang itu masih demikian.

Polisi rentan suap,  memukul bahkan menyeret bagi mereka itu urusan gampang, paling duit juga bisa menyelesaikannya. Hal yang susah dibersihkan jika perilaku polisi sendiri dengan gaya hidup di jalan raya nampak, pangkat apa tongkrongan apa. Kecemburuan dan sikap iri dari militer dan pegawai lain bisa meledak dan menjadi bom waktu yang tidak kecil akibatnya.

Apa yang seharusnya dilakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun