Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aksi FPI, Menanti Tindakan Polisi, di Antara Dilema Kriminalisasi

24 Januari 2018   06:53 Diperbarui: 24 Januari 2018   08:43 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi FPI, Menanti Tindakan Polisi, di Antara Dilema Kriminalisasi

Aksi FPI, menanti tindakan polisi, di antara dilema kriminalisasi, dua kali paling tidak aksi lama diwujudkan kembali federasi pentung ini, di Bangkalan dan Pekalongan. Hal yang biasa memang aksi mereka untuk mengadakan sweeping ini dan itu. Hal yang sangat lama tidak lagi mereka lakukan. Perilaku ini  sebenarnya bukan barang baru, beberapa waktu lalu mereka atau sebagian dari mereka juga menjadi "penegak" hukum bayangan dengan perilaku persekusi dan sejenisnya. Hukum mereka yang hendak ditegakkan untuk pihak yang dinilai menyerang, merendahkan, dan menistakan mereka. Mereka punya standart hukum sendiri dan menjadi polisi, hakim, dan jaksa sekaligus. Hebat bukan?

Beberapa tempat memang sudah membuat mereka jerih. Tidak berani lagi memperlihatkan tajinya, apalagi aksinya. Di beberapa tempat yang bisa mereka "kuasai" mereka merasa bak jawara dan bisa menepikan peran polisi. Serba susah bagi polisi juga mau berbuat. Tuduhan kriminalisasi dan memerangi agama yang akan disematkan memang menakutkan bagi banyak pihak.

Koridor hukum yang erlu berbicara. Sepanjang hukum dan perundang-undangan yang ada tidak ada yang dilanggar, mengapa harus takut. Jangan sampai ada "polisi" di luar institusi Polri yang bisa menjadi pelaku "penengakan hukum" malah pelanggar hukum yang seolah terlegalisasi. Selama ini apa landasan hukum mereka melakukan aksi coba. Asumsi, soal tepat ibadah, soal prostitusi, minuman kerasa dan sebagainya. Mengenai tempat ibadah pun yang dipakai adalah pemahaman, pola pendekatan milik  sendiri tanpa mau tahu keadaan, kesulitan, dan kerepotan umat lain mau beribah. Pokoknya mereka merasa resah, mereka, bukan yang lain lho. Pemaksaan kehendak bukan hukum yang berbicara.  Tuduhan kriminalisasi dan penolak agama atau tokoh agama akan terus digembar-gemborkan karena tidak ada tindak nyata dan dengan tegas. Masih sering kalah opini dan gerudugan mereka.

Kekuatan massa yang selalu dipakai, dulu ada semacam terfasilitasi, dan seolah mendapat angin segar sekarang menuai hasil untuk bisa diselesaikan dengan semestinya. Berlindung di balik kelompok dan massa, agama, dan gerudugan membuat semua susah bergerak. Jika hukum ditegakan, masak massa tidak bisa diatasi dengan polisi yang mendapat legitimasi hukum? Mesti akan berteriak soal HAM. Penegakan HAM tidak bisa dengan melanggar HAM juga, polisi memeiliki SOP yag sahih, bagaimana perilaku mereka, apa legitimasinya? Asumsi mereka sendiri, dan itu tidak bisa menjadi acuan.

Tahun politik, banyak lahan basah untuk digarap menjadi isu-isu sensitif demi periuk beberapa pihak. Kegaduhan, ingat ini lagi-lagi oklokrasiyang berbicara. Membenturkan agama satu dengan agama lain, nampak menjadi watak dan perilaku mereka. Merasa diri lebih saleh dan moralis mengenai prostitusi dan minuman keras. Sepakat bahwa hal itu buruk, namun ada yang lebih berhak untuk menegakkan hukum. Mereka sebatas mengamati kemudian melaporkan ke polisi, dan tidak boleh sebenarnya mereka ikut polisi, mereka bukan siapa-siapa. Kalau meyakinkan toh bisa mengamati, merekam, dan mellaporkan kepada institusi yang berkaitan. 

Kepolisian juga memiliki unit untuk menindak polisi yang tidak bekerja dengan profesional. Ingat  ini tahun politik, bisa saja semua saling memanfaatkan, jangan sampai karena kebodohan sendiri dilibas pihak lain kemudian menuduh yang tidak disukai sebagai pelakunya. Dalam  hal ini bisa saja pemesan enggan membayar kemudian menimpakan pada pemerintah atau penguasa, kembali sasaran tempak adalah pemerintah.

Apa yang seharusnya dilakukan?

Penegakan hukum tanpa tebang pilih. Hal yang terlalu lama berlalu dengan selalu demikian. pennegakan hukum oleh masyarakat atau ormas dan semua usai begitu saja. Jaminan  hukum masih lemah, sehingga perilaku aksi demikian bisa berulang. Justru di tahun panas seperti ini perlu diminimalkan dengan gerak cepat, tangkas, dan gesit. Tidak boleh diberi ruang untuk berbuat main hakim sendiri. Kebiasaan main hakim sendiri mulai ditinggalkan, eh malah diambilalih oleh ormas.

Jangan sampai kegeraman di beberapa tempat malah menjadi aksi kekerasan massa versus massa suka kekerasan juga. Kembali kepolisian yng bisa dibantu TNI untuk bisa mengatasi hal ini. Polisi dengan tentara tidak kurang banyak. Hanya kurang tanggap jika ada gerak-gerik orang yang mau melakukan "penegakan hukum" demikian. Mosok sih ada sekelompok orang yang rekam jejaknya jelas, bersama-sama, seragam lagi, dan sering melanggar aturan, tidak mengenakan helm, naik truk, tidak ada yang lihat atau tahu? Ah yang bener.

Sikap masyarakat. jangan abaikan potensi sekecil apapun, bisa memberikan laporan atau pemberitahuan pada aparat yang berwenang sehingga tidak ada ormas bentrok dengan warga yang memiliki sudut pandang berbeda. Abai dan merasa bukan urusan memang sering menjadi pola pikir kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun