Jenderal dan Purnawirawan dalam Pilkada, Kembali TNI-Polri Jaminan Hidup
Jenderal dan purnawirawan dalam pilkada, kembali TNI-Polri jaminan hidup. Kembali, demokrasi akal-akalan ala Indonesia mengemuka dengan fenomena jenderal dan purnawirawan yang cukup mendominasi, terutama pemberitaannya. Akhir-akhir ini makin banyak yang mundur atau pensiun dini, bukan karena memang sudah purna. Tentu masih banyak yang paham, apa yang menjadi masalah di masa lalu, khususnya Orde Baru, di mana militer terutama Angkatan Darat hampir semua lini menjadi "jatah" mereka. Tamtama dan bintara akan masuk ke desa menjadi kades usai pensiun, letnan kolonel akan menjadi bupati atau walikota, bintang dua atau tiga menjadi gubernur. Kampling siap huni ini menjadi "arisan" mereka, dan pejabat karir susah untuk beranjak, paling mentok sekda.
Masalah Klasik Parpol...
Salah satu tugas mendasar partai politik adalah kaderisasi. Kaderisasi untuk menyiapkan kelangsungan hidup berorganisasi, kader untuk kepemimpinan internal partai, dan tidak ketinggalan untuk menjadi pemimpin  masyarakat apapun  jenjangnya. Hal ini ternyata yang sangat miskin dimiliki partai politik, apapun partainya. Tidak heran, jika "jenjang karir" identik dengan MLM yang bisa dengan "uang" potong kompas untuk menjadi sesuatu dengan pendekatan pada pimpinan utama partai tersebut.
Uang yang berbicara, bukan loyalitas, kinerja, apalagi prestasi. Uang x rupiah menjadi apa xxx menjadi apa dan seterusnya. Jenjang dari anak ranting hingga pusat, apapun namanya, bisa tidak dilampaui oleh banyak pihak. Yang  tidak punya uang, ya tinggal menjadi petugas keamanan dalam acara besar, meskipun kontribusi dan ideologi jangan ditanyakan lagi. Ada pula jalur lain, potong kompas, ada parpol yang getol dengan mengusung artis atau pesohor lain. ada pula yang memanfaatkan "kaderisasi dan hirarkhi" militer dan polisi.
Kematangan Militer dan Polisi
Jelas saja, minimal sepuluh tahun mereka hidup, bekerja, dan berdinamika dalam namanya lembaga, organisasi yang tertata dengan apik. Jenjang yang panjang telah dilalui, dan idealnya, paling tidak dengan seleksi dan prestasi tentunya. Tidak perlu diragukan lagi dalam hal ini. Semua jelas, terukur, dan teratur dalam banyak penilaian, evaluasi, dan sebagianya. Jaminan mutu pokoknya. Artinya partai politik potong kompas dan mengambil produk jadi tinggal pakai. Apakah hal ini adil dan bukan korupsi, jika berkaitan dengan beaya negara yang dipergunakan untuk mendidik mereka.
Adil dan Korupsi...
Ini tentu akan menjadi debat berkepanjangan jika dikatakan dengan demikian. Secara luas jelas merugikan institusi yang susah payah mendidik dan memfasilitasi mereka, ketika dibajak oleh partai politik menjadi kadernya dan menjadi kepala daerah. Akan dikatakan toh bekerja demi bangsa dan negara yang lebih luas, beneran? Kan bukan bidang yang secara profesional ia geluti. Itu uang negara dan demi kepentingan tertentu. Keadilan akan sumir karena toh pendekatan bagi yang menguntungkan, bukan karena partai A dekat namun partai mana yang bisa menjadi kendaraan yang lebih menjanjikan.
Birokrasi lain, belum sesistimatis dan sebagus militer dan kepolisian, apalagi partai politik, ini yang menjadi alasan mengapa dua lembaga itu yang paling banyak memberikan calon untuk diusung ini dan itu. Hal ini tentu menyulitkan pihak militer dan kepolisian yang tengah menggalakan bersih-bersih, terutama seleksi untuk masuk ke sana. Mengapa? Dengan kembalinya, maraknya kader potong kompas ini, artinya, menjadi tentara dan polisi itu jaminan juga menjadi pemimpin daerah. Kembali ke masa lalu yang mengeliminir kaderisasi partai politik, karena sedikit banyak ada partai politik yang memiliki kaderisasi dan jenjang politik yang relatif baik seperti PKS dan PDI-P. Â Tentu bukan kesalahan militer dan polisi, salah jelas ada pada partai politik sendiri yang malas dan enggan kerja keras.
Potong kompas. Lebih mudah, murah, dan jelas sosoknya. Pemilihan selain prestasi juga tenar. Tidak heran PAN mengandalkan artis untuk memudahkan mengenalkan calon. Lihat saja PKS dengan kader militannya, rendah keterpilihan. Pun PDI-P yang memiliki jenjang hingga anak ranting bisa dengan mudah dilibas surat tugas oleh antah barantah namun bisa memiliki akses dan keterpilihan tinggi tentunya. Golkar dulu yang bagus, karena ABG, jelas mengambil Abri, Birokrasi untuk Golkar, pun kini melempem. Mana ada hingga desa-desa mereka memiliki akar kuat, selain elt dan menunggu pemilih dari sisa masa lalu, yang masih belum paham pergerakannya kini.