Alergi air, beneran ada, dulu beberapa tahun lalu, pas menjadi pembina  dalam sebuah lembaga pendidikan untuk membangun karakter, seorang siswa menyatakan dirinya alergi air. Ah yang bener saja, apa iya alergi kog pada air, padahal setiap saat selalu berhadapan dengan air, apalagi kota tepi laut begitu. Mikir buruk juga jadinya. Paling anak kolokan, enggan main dan malas ikut berdinamika dalam pembinaan karakter. Mereka sudah hapal karena bertahun-tahun dibina yang sama. Biasanya mereka dari SMP dan SMA dalam naungan yayasan yang sama, jika kelas akhir SMA mereka sudah hampir enam kali ikut kegiatan ini.
Alasan untuk gak yakin sangat kuat. Biasa anak-anak mencoba menghindari untuk tidak ikut. Ada yang alasan sakit ini dan itu, alergi ini dan itu, padahal bukan alergi namun tidak mau atau tidak doyan. Contoh tidak mau makan seledri, dikatakan alergi seledri. Ada pula yang membawa bekal makanan sendiri karena tidak pernah makan nasi, akhirnya bawa mie banyak-banyak. Nampaknya hanya karena sejak kecil dibiasakan makan mie bukan nasi saja, bukan alergi nasi tentunya. Pengalaman ini membuat kami, para pembina mikir sederhana, paling ngeles saja. Sambil dilihat kondisi selanjutnya.
Alergi yang langka dan baru dengar. Ini antara katrok dan memang sangat langka, alergi yang dikenal dengan nama aquagenic urticaria,ini hanya dialamai oleh 30-40 orang di dunia, biasanya perempuan, dan biasanya lagi dialami oleh gadis yang mulai usia pubertas. Sebelumnya tidak nampak indikasi apa-apa. Hingga saat ini belum ada hasil yang memuaskan mengenai alasan dan penanganannya.
Menunggu kegiatan, para peserta memasuki tenda di mana pembinaan karakter untuk level ini memang dalam bentuk kemping. Kami tetap tidak mau mengambil risiko kalau memang demikian. toh dari sikap anaknya tidak menunjukkan pribadi yang aneh-aneh, cenderung anak baik dalam kacamata guru lho. Tidak masuk anak yang biasa berdalih untuk enakya sendiri. Â Mulai nampak tanda awal, keringat, bagaimana tenda terpal, daerah yang panas, dan aktivitas gerak yang cukup banyak.
Merah-merah. Mulai nampak kulit memerah dan seperti menebal di bagian yang berkeringat. Merah bukan karena malu atau kepanasan. Â Wah ini jelas ada "masalah" tidak lagi main-main kalau seperti ini.
Malah enggan untuk ngaso. Kondisi begitu, aman kalau siswa tidak perlu ikut aktivitas, dan kegiatan klasikal saja yang diikutinya. Eh malah menjawab sudah biasa. Meyakinkan diri dengan menunjukkan obat yang siap dipergunakan dan juga banyak tisu yang akan dipakai untuk mengurangi risiko panas, gatal, dan kemerahan.
Aktivitas cukup menghasilkan keringat. Kamping dan seluruh permainan ada di areal rawa-rawa dengan kelebatan antara sagu atau karet. Jelas banyak air dan menghasilkan keringat bukan? Eh anak ini dengan bantuan rekan-rekannya sangat menikmati permainan. Padahal banyak anak lain enggan kotor dan berkeringat, eh anak dengan keadaan itu malah tetap mau.
Permainan air. Hampir seluruh permainan menghasilkan keringat atau berkaitan dengan air. Toh kami memberikan kebebasan. Ia malah ikut dengan tidak khawatir "kebakar" ia menjawab tahun terakhir sayang kalau tidak ikut. Rekan-rekannya siap dengan tisu yang mereka bawa juga ia mengelap sendiri. Malah tercipta bentuk empati, peduli, dan kebersamaan di sana.
Sering orang merasa mendapatkan keuntungan dengan kondisinya kemudian meminta hak khusus, perlakuan istimewa. Anak ini justru menunjukkan bahwa ia tidak masalah dengan kondisi itu. Hal yang normal bagi ia, meskipun bagi yang melihat tentu akan merasa kasihan, kepedulian, dan tidak jarang malah melindungi secara berlebihan. Ternyata keluarga ini baik dalam menangani kondisi puterinya, tidak memanjakan dan membiarkan kondisinya menghambat pertumbuhannya.
Kondisi yang berbeda bisa disikapi dengan bijaksana dan dewasa, jika demikian, keadaan itu tidak menjadi penghalang. Manja dan kolokan biasanya tercipta karena didikan yang tercipta di dalam keluarga. Mengawasi dengan ketat bukan berarti membelenggu, pun sebaliknya, bukan membiarkan tanpa adanya perhatian.
Pengalaman yang akhirnya membuat mencari referensi dan bahasan. Ternyata cukup banyak juga bahasan mengenai hal tersebut. Saking sedikitnya yang mengalami, sering timbul salah sangka. Ternyata benar adanya, dan "penderitaan" itu tidak mudah disikapi. Pada kondisi yang ekstrem sampai minum saja kerasa terbakar tenggorokannya. Coba bayangkan betapa tersiksanya.