Jurus mlipir, atau menang   tanpa ngasorake, menang-menang dalam politik ala Jokowi, jarang pemain politik mencari model win-win,cenderung menang kalah. Potensial keadaan berbalik jika memberikan kesempatan kepada rival untuk bisa sejajar. Menang-menang dalam politik sering dianggap sebagai permainan berbahaya. Memelihara ular berbisa atau macan yang garang. Pilihan tidak mudah tentunya untuk mengambil sikap untuk menang-menang. Mlipir,dalam konteks ini adalah bukan jalan konfrontasi, namun memberikan kesempatan lawan untuk tidak malu, menang tanpa ngasorake,masih memberikan pihak lain martabat yang semestinya.
Prasasti Pembangunan Gedung DPR, ini kisah paling lama. Banyak yang menduga presiden akan kena simalakama ala dewan. Eh dengan mlipirbegitu saja bisa lepas dan tidak ada keriuhan berlebihan. Jika model politik menang-kalah, malah bisa hancur lebur semuanya. Karena posisi waktu itu perlu penghematan malah dewan minta megaproyek yang sangat tidak mendasar. Disetujui kan dikatakan presiden abai rakyat kalau tidak dengan keras dan frontal, akan banyak hambatan dalam kerja sama dengan legeslatif. Pilihannya elegan dan dewan tidak malu. Meskipun dasarnya memang mereka gak punya malu.
Papa Minta Saham, jauh lebih heboh. Banyak yang berpikir akan ada "perang" besar karena adanya kalimat kalau presiden koppig. Semua seolah menunggu palu akan ditimpakan pada Setnov dan hilang dari peredaran. Tidak terjadi dan semua usai dan terlupakan. Hanya label papa minta sahamtetap lekat pada Setya Novanto. Tidak ada yang dipermalukan dan semua selesai.
Demo 212
Melihat gegap gempitanya demo ini, berbagai pihak menduga presiden akan jatuh dan ada pemerintahan baru. Para elit politik baik lama maupun baru sudah banyak yang merasa akan bisa mengambilalih kekuasaan. Ternyata bisa diselesaikan dengan kemunculan yang oleh banyak pihak sebenarnya dipandang sangat beresiko. Hal ini berkaitan dengan banyak kasus-kasus kecil lainnya yang kalau dengan model pendekatan kalah menang malah bisa merugikan bangsa dan negara ini lebih jauh dan lebih besar.
Kisruh Alutsista Panglima TNI, Menhan, dan Polri
Soal senjata dan pemilik senjata saling "serang" di media. Satu menyatakan ini satu menyatakan bukan ini. Tontonan menarik bagi para jurnalis yang bisa menuliskan warta dengan tidak perlu susah payah mencari narasumber. Berita akan dengan mudah tersaji dan banyak pihak yang mau berkomentar apapun isinya toh menarik untuk dilaporkan. Ternyata presiden memilih tenang dan tidak ribut-ribut. Dipanggil dan semua usai. Padahal menko pun masih belum mampu membuat reda pertunjukkan beberapa waktu itu.
Isu Tagihan  Balas Jasa Setnov
Setya Novanto lagi yang berulah dan menjadi bola liar jika bukan Jokowi yang menghadapi. Isu soal adanya surat yang beredar di dunia maya mengenai "jasa" Setnov dna "tuntutan balik" atas balas jasa itu. Presiden menjawab bukan dengan konperensi pers, namun tetap membiarkan hal itu berlalu begitu saja. Semua usai. Tidak lagi ada keriuhan yang tercipta dan terjadi dengan pilihan ini.
Tentu masih ingat bagaimana Pak Beye marah bukan hanya dalam bentuk kalimat, namun wajah merah padam dan pernyataan lebaran kuda beberapa bulan lewat. Bahasa psikologis anak, sikap itu dinamai, tantrum,jika tidak bijak menghadapi, keadaan bisa menjadi tidak terkendali. Kembali pilihan untuk tetap tenang itu jauh lebih memberikan dampak baik.
Pilihan menang-menang memang tidak mudah. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pribadi yang sudah matang, tidak khawatir dengan banyak hal, dan yakin akan hasil akhir. Sering kita disuguhi gaya preman jalanan yang mau menangnya sendiri tanpa mau menanggung risiko. Dengan sikap menang kalah, justru memberikan peluang adanya musuh yang sakit hati. Jelas ada pihak yang terkalahkan dan itu energi negatif yang sangat merugikan.
Mengalahkan tanpa merendahkan bisa diraih jika pribadi itu bisa mengatasi keinginan pribadinya terlebih dahulu. Orang yang masih ingin tenar, populis, membangun citra, dan sejenisnya akan memilih dengan merendahkan orang akan kalah dan tidak menjadi ancaman. Memupus potensi rivalitas yang belum besar dengan model pendekatan menang-menang.
Risiko yang dihadapi pribadi yang menggunakan prinsip memang-menang adalah kecurigaan soal ketegasan, keberanian, dan banyaknya pihak yang tidak bisa sabar menantikan. Oleh karena itu hanya pribadi dewasa dan matang yang bisa menggunakannya. Tidak perlu banyak teori dan wacana di dalam melakukannya. Juga harus cermat berkomentar sehingga berdaya guna.
Ekses lain yang tidak bisa dinafikan adalah mengenai salah tafsir dan kalau tidak siap bisa menjadi berbahaya. Tebak-tebak buah manggis bisa menjadi masalah. Apalagi dalam alam demokrasi yang inginnnya cepat ini.
Menambah barisan sakithati justru berisiko besar bagi pembangunan bangsa. Mempermalukan pihak lain yang bisa menjadi pesaing sering menjadi pilihan. Namun sangat merugikan sebagai cara hidup bersama.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H