Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bahagia Itu Sederhana

16 Desember 2017   07:25 Diperbarui: 16 Desember 2017   10:01 2909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahagia itu sederhana kog. Ini artikel ringan saja, capek nulis politik yang sering berujung ribet da ribut, apalagi pas ada yang sensi baca gak tuntas. Tidak juga meributkan hits yang lagi heboh, toh itu salah satu penyebab tidak bahagia. Bahagia itu sangat sederhana. kalau soal hits masuk, hanya menjadi contoh, bukan mau menghakimi pula.

Bahagia itu tidak memikirkan yang tidak dipunyai. Sederhana sekali, sering orang itu menjadi gelisah, galau, dan merasa tidak bahagia hanya kerena memikirkan apa yang tidak ia mampu lakukan, miliki, dan menjadi obsesi yang berlebihan. Bukan berarti tidak punya harapan lho. Contoh, mampu belinya sepeda namun ingin motor bahkan mobil, bisa bahagia tidak? Berat tidak hidupnya alau hanya mampu makan dengan lauk tempe maunya lauk ayam goreng dari restoran. Ngenes,iya. Banyak contoh yang tersaji dengan variannya, meskipun isi dan esensinya tetap saja bukan yang dimiliki yang diingini.

Bahagia itu karena bersyukur. Bersyukur bisa melepaskan keinginan dan kerinduan yang sering dicemari oleh ketamakan dan kerakusan. Keinginan bisa mengubah kebutuhan menjadi hal remeh yang terbeli. Ingat saja bagaimana semua kita inginkan, padahal tidak dibutuhkan. Beli piring padahal sudah ada piring karena tergiur bonus, atau diskon. Bersyukur bisa menghentikan keinginan berlebihan menjadi kebutuhan yang mendesak.

Bahagia itu tahu kemampuan. Kemampuan yang diketahui batasnya tidak akan membuat orang menjadi obsesif yang membuat patah hati, merana, dan mencari kambing hitam. Tahu bahwa tidak akan bisa melampaui apa yang sudah diterima, akhirnya tahu diri dan menikmati sambil bersyukur. Sekitar kita banyak orang yang merana karena merasa lebih dari pada orang lain. Ada tetangga yang ekonomi pas-pasan, kemampuan intelektual juga biasa, bisa mengatakan yang harusnya masuk Akmil adalah dirinya bukan rekannya. Padahal modal apapun jelas kalah jauh.

Bahagia itu tidak serta merta dengarkan kata orang. Sering orang menjadi gila karena mendengarkan kata orang. Orang yang satu mengatkan harusnya kamu kaya karena kamu ada pada lahan basah. Sisi lain ada yang mengatakan syukurlah kamu tetap sederhana di lahan basah sekalipun, tidak ikut arus. Coba bayangkan, mana yang benar, ada setan yang membujuk, lewat orang lain, anak, istri, suami, tetangga, atau siapapun bisa menjadi pemengaruh. Sebaliknya sedikit yang akan menjadi malaikat. Tidak heran ada seorang karyawati bank demi memenuhi hasrat suami bergaya hidup mewah masuk bui karena melakukan penggelapan. Apa bahagia sebenarnya dalam hidupnya? Jelas tidak.

Bahagia itu ada adanya, bukan berarti nglokro.Tetap berharap, tetap berusaha namun bukan mencari yang berlebihan dalam cakupan dan jangkauannya. Kulit hitam  ya sudah itu berkat Ilahi, coba yang hitam mau putih, yang putih mau coklat, itu kan karena sifat dasar manusiiawi yang terpengaruh keinginan. Selalu tidak puas  karena melihat orang lain yang berbeda. Dalam ujaran Jawa, wang sinawang. Rumput tetangga selalu lebih hijau.

Bahagia itu mencukupkan diri. Hal ini cenderung berkaitan dengan popularitas. Lihat saja apalagi dengan perkembangan media sosial yang membuat orang begitu mudah untuk viral. Begitu gampang menjadi tenar, dan menjadi pusat perhatian, termasuk dengan perilaku yang tidak sepantasnya. Aneh sebenarnya bila tenar karena cemar. Eh malah sampai level pimpinan pun memanfaatkan hal itu. Bagaimana hal ini bisa dipertanggungjawabkan coba?

Mengapa menjadi demikian rumit untuk bahagia?

Pendidikan karakter jauh dari kehidupan bersama. Bagaimana penghargaan akan materi, penghormatan akan kekayaan jauh lebih kuat daripada menghargai capaian dan prestasi. Jangan heran nanti anak-anak tanpa tahu apa-apa malah bercita-cita jadi koruptor, kan kaya, terkenal, masuk teve, dan senyam-senyum sok ngartis. Itu tersaji di depan mata setiap saat.

Keteladanan juga sangat buruk. Generasi muda susah menemukan hal-hal yang bisa dijadikan acuan untuk menjadi baik. Tontonan hiburan di media pun tidak memberikan nilai luhur untuk itu. Malah menjual derita, menjual kemewahan, dan sejenisnya. Membuat mimpi lepas kendali iya, pengin jadi artis akhirnya ditipu luar dalam, mau kaya akhirnya tidak  mau kerja keras dan lari ke dukun pengganda uang dan sejenisnya. Belum lagi jika bicara tokoh. Bagaimana kebaikan, tokoh baik malah disingkirkan, tokoh jahat dielu-elukan, dan itu diajarkan dengan masif dan berulang. Orang jelas tidak bahagia wong fakta dan idealisme jungkir balik.

Penghayatan agama, yang hanya luaran. Hidup spiritualitas harusnya sampai menjadi buah. Bagaimana bisa mengaku beragama, tokoh lagi, bisa sekaligus mencari ketenaran dan kerendahan hati, padahal perilakunya jauh dari itu semua. Apakah tidak bisa rendah hati dan populer, bisa banget sebenarnya, namun mentalitas instan juga merusak itu semua. Tidak sabaran juga menjadi kunci untuk tidak setia dan taat proses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun