Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warung Kejujuran dan Keteladanan

14 Desember 2017   08:16 Diperbarui: 14 Desember 2017   08:59 5461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Warung Kejujuran dan Keteladanan

Warung kejujuran dan keteladanan sangat penting bagi perubahan perilaku korup yang seolah menjadi tabiat dan budaya bangsa ini. Korupsi sering hanya dimaknai mengambil uang, mempermainkan anggaran dan proyek. Jika mau lebih jujur dalam melihat permasalahan bangsa ini, jauh lebih mengerikan dan memalukan, karena bukan semata perilaku jujur saja yang jauh dari semestinya.

Membaca sebuah berita, lupa persisnya, di suatu kota, warung atau kantin kejujuran itu hanya tinggal satu, lainnya bangkrut. Hal yang sangat wajar dan ya jelas saja. Jadi ingat, dulu, ada rekan guru mengusulkan mendirikan warung kejujuran, saya ngakak karena tahu persis perilaku guru itu yang sering meninggalkan jam pelajaran demi merokok dan ngopi di warung sebelah sekolahan. Guru tersebut juga sering memborong jika ada rehap atau pengecatan sekolah dan sekitarnya. Ternyata perilaku dan idenya sangat kontras bukan.

Kejujuran itu soal keteladanan, perilaku membei contoh. Tidak ada yang salah dengan ide warung kejujuran, kantin kejujuran, namun apakah sekolah, jika itu ada di lingkungan pendidikan, benar-benar bisa melakukan terlebih dahulu dari guru dan manajemen pendidikan secara umum. Paling kecil dan sederhana adalah, tepatwaktu.

Jangan dianggap ini sebuah hal yang sepele lho. Merugikan pemberi gaji, pemerintah atau yayasan, merugikan murid karena haknya terpotong. Sangat sederhana dan paling minimal yang seharusnya bisa diterapkan. Sering lho hanya karena asyik ngobrol. Penggunaan alat komunikasi, hape,marak dan murahnya smartphone,berbagai dalih bisa menjadi seolah benar penggunaan hape.Di sekolah katanya untuk membantu belajar, di kantor, katanya untuk koordinasi. Benar tidak? Jika iya benar untuk tujuan itu, sepakat dan bagus. Sayang, susah untuk percaya karena perilaku dan kebiasaan bangsa ini masih jauh. 

UN dan seleksi masuk,kalau UN hampir semua sekolah, ingat hampir lho, melakukan kecurangan. Bagaimana kantin kejujuran sedang mereka saja diajari, ingat diajari untuk tidak jujur. Seleksi masuk memang milik sekolah favorit. Dengan uang mereka bisa mengalahkan nilai yang tinggi. Orang tua dan guru menciptakan dan mengajarkan ketidakjujuran sejak dini. Ijazah asli, atau beli?Kemarin ada kiriman link video di grup sosial media, ada seorang wisudawati yang ditanya soal matkul favoritnya malah gelagapan, anak muda lho. Atau seorang walikota yang ditanya IP-nya katanya untuk kejutan. IP mana ada yang kejutan, jelas tidak tahu apa itu perkuliahan. Mereka membeli ijazah yang jelas. Di mana kejujuran?

Keteladanan dalam hidup bersama. Jelas ada di mana sih kejujuran dalam hidup bersama ini? lihat saja para elit yang tersenyum, bahkan menantang bersumpah, padahal jelas-jelas mereka ngembat uang rakyat. Merasa itu sebagai rezeki, merasa diperlakukan tidak adil. Sama sekali tidak ada contoh untuk memberikan keteladanan bahwa perilaku jahat itu buruk. Hal kecil saja, membuang sampah, jarang kog anak kecil, pakai seragam yang mau membawa sampahnya ke mana ada tempat sampah. Langsung buang di mana ia menghasilkan sampah iya.

Penghargaan atas materi/kekayaan dan tidak peduli dari mana itu asalnya. Hal ini jelas dalam banyak kasus. Prestasi bukannya mendapat apresiasi. Perilaku buruk, jelek, bahkan jahat malah mendapatkan ganjaran, hadiah, dan menjadi duta ini dan itu. Buat apa coba berbuat jujur, toh miskin yang berimbas tidak mendapatkan penghormatan. Atau kalau anak sekolah, toh kalau nilainya jelek tidak akan dipuji guru. 

Pujian karena nilai baik, bukan karena hasil kerja keras murid. Ingat pengalaman seorang murid ketahuan ngembat empek-empek seharga seribu rupiah, anak yang sama ini, mengembalikan sebuah hand phone,yang ia temukan tanpa mendapatkan imbalan, malah tombok, menunggu dan menghubungi yang punya hapetersebut. Apa yang dilakukan teman-temannya, memperoloknya, bodoh, dan mengambil empek-empeknya sebagai bahan ledekan terus. Perilaku buruk jelas lebih jelas tampak daripada perbuatan baik.

Kejujuran itu perilaku dan tabiat, keharusan bukan prestasi. Hal ini ternyata salah dipahami. Maka KPK pun membuat slogan yang "sesat" bagaimana jujur kog hebat. Justru memalukan ketika jujur itu hebat, itu biasa, normal, wajar, sangat minimalis. Perilaku itu perlu pendidikan, contoh atau keteladanan, dan pembiasaan.

Bagaimana orang tua sejak dirumah sudah mengajarkan "penipuan" karena malas masak mengatakan membeli saja di luar, biar praktis. Kalau memang enggan katakan enggan, bukan berdalih lebih praktis. Bapak yang mengatakan tidak punya uang namun bisa merokok dan main internet ketika anak meminta uang. Anak belajar karena memang diajar untuk itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun