Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Mudah Sensi?

11 Desember 2017   07:21 Diperbarui: 11 Desember 2017   08:34 1871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Mudah Sensi, Emosional, dan Lepas Kendali?

Mengapa mudah sensi, emosional baik senang atau sedih, dan akhirnya lepas kendali? Menarik mengapa hal-hal tersebut sering melanda, bahkan orang yang dewasa, bahkan sudah berumur sekalipun. Dewasa secara fisik, usia, dan badaniah yang uzur, namun kepribadian belum. Pribadi yang dewasa matang, dan bijak, tidak akan mudah sensi, baper kata anak sekarang, dan emosional kalau menghadapi apapun juga. Kesenangan dan kesedihan menjadi hal yang biasa, bukan luar biasa. Akhirnya tidak akan lepas kendali saat mengekspresikannya. Baper, emosional, lepas kendali adalah ekspresi diri yang tidak seharusnya. Ingat jika ada Sutradara Agung di balik itu semua.

Dalam hidup bersama, baik nyata ataupun maya, pemberitaan dan sajian media, kita sering melihat orang sudah sangat tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, ataupun pejabat tinggi, namun perilakunya malah menjadi olok-olokan anak muda, bahkan anak kecil. Bahan ledekan bukan karena si muda kurang ajar, namun yang sudah berumur tidak bisa memberikan apa yang seharusnya menjadi tugas orang tua. Kedewasaan berpikir, berkata-kata, dan ketika menanggapi persoalan.

Melindungi diri. Sering mengpa orang sangat baper, emosional, dan menjadi pemarah, serta curigaan karena merasa ada yang terluka dengan apa yang ia lihat, dengar, atau baca. Seperti orang yang menderita bisulan dan bisulnya tersentuh. Apa yang ia ekspresikan adalah sarana untuk melindungi kekurangannya agar tidak tersentuh dan terlihat. Obsesif bisa juga membuat perilaku demikian. kekurangan dan obsesif yang berlebihan apalagi jika tidak kesampaian bisa menjadi "luka" yang mudah membentuk perilaku berlebihan.

Tidak kenal diri.Pribadi yang mengenal dirinya dengan baik tidak akan marah kalau mendapatkan masukan, tidak akan berlebihan senang jika mendapatkan pujian atau penghargaan. Kepribadian yang utuh membuat pribadi atau individu itu tidak terpengaruh apa yang menjadi respons luar atas dirinya.

Kaca mata hitam. Salah satu candaan khas Srimulat sebagai orangkaya adalah  masuk rumah dengan masih mengenakan kaca mata hitam. Semua tampak gelap. Hal ini juga sama bagi pribadi yang menderita. Bagaimana mereka melihat orang lain adalah ancaman. Padahal karena sudut pandangnya sendiri yang membuat seolah orang lain akan menyerangnya, menjadikannya sasaran, ekspresi biasanya adalah mengira orang lain akan merugikannya, ada konspirasi untuk diri dan kelompoknya. Ada perkumpulan dikira akan menjatuhkannya. Jika perilaku orang tua, dewasa seperti ini, jelas ada masalah bagi pribadinya.

Merasa diri atas "pakaian, peran", dan hal yang di luar dirinya. Sering orang menyatakan melukai kami sebagai agama X, menistakan kami sebagai pendukung B, atau menghina saya, padahal yang dikritik adalah buah pikirannya. Membedakan diri, antara jati diri dan peran, pakaian, hal yang artifisial dari dirinya, sebagai bagian utuh atas dirinya. Sering karena aktif dalam menulis, orang bisa marah, ngamuk, kalau apa yang ia tuliskan itu dikritik, disanggah, atau dikatakan tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Apa yang dikritik adalah buah pikirnya, tulisannya, dan bukan pribadinya. Mengapa harus ngamuk dan emosional atas apa yang bukan jati dirinya itu. Mengaitkan peran, dan pakaian sebagai diri pribadi yang membuat marah atau senang dalam waktu yang berbeda.

Apa yang terjadi di atas karena pendidikan bangsa ini belum sampai pada penghayatan, penalaran, masih sebatas hapalan, pokoknya lulus, dan belum bisa fokus akan apa yang menjadi jadi diri. Tentu sangat biasa orang tidak bisa menyukakan semua orang, adanya perbedaan antara fakta dan idealnya, atau keinginan dengan kenyataannya. Hal-hal yang melebar ke mana-mana sehingga tidak bisa juga menerima perbedaan dan adanya kenyataan yang ingin diingkari.

Menarik dalam artikel kemarin, ada komentar bahwa ada jabat tangan erat dari yang sudah melampaui diri (tidak akan pengaruh kata dunia, bahasa saya) untuk membantu yang belum bisa memisahkan diri dari diri sejati dan kenyataan duniawi. Jadi ingat pas mengikuti perayaan keagamaan, pemimpin umat tersebut mengatakan harus memaklumi, menerima, dan mengandeng yang belum dewasa seperti om dan keponakan. Jaid ada peran yang dewasa (bukan fisik dan usia) untuk mengandeng, menerima, memahami, yang masih "muda" itu.

Penerimaan, bantuan, dan penerimaan itu sangat tidak mudah, karena pada sisi lain, pribadi yang "menderita" itu pun belum atau tidak paham. Tentu capek juga bagi yang memahami, eh malah masih juga dicurigai. Sama juga dengan sikap anak-anak yang tidak mudah bukan, ketika dilarang main air eh malah lebih parah. Anak juga merasa tidak ada yang salah, pihak orang dewasa merasa sangat kereotan jika anak sakit, harus mencuci lebih banyak, dan sebagainya. Ada jarak dan fakta yang belum bisa dijembatani, jika orang tua marah dan anak makin bandel.

Apaka mudah menjadi dewasa? Tentu tidak, tetapi sepanjang ada kemauan semua bisa kog. Satu kata, sadar. Sadar itu bangun bukan tidur dalam semua kata orang, apalagi angan yang tidak pernah kesampaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun