Agus Harimurti, Seandainya Tanpa Yudhoyono
Agus Harimurti Yudhono memang tidak salah dengan apa yang telah menjadi anugerah Tuhan. Lahir dengan menjadi bapak seorang jenderal sekaligus kemudian presiden. Beberapa survey melaporkan posisi sangat bagus bagi seorang AHY, yang masih selevel mayor atau paling banter letnan kolonel, atau kolonel lah kalau sangat berprestasi. Jabatan terakhir sebelum pensiun adalah kalau tidak salah ingat wakil komandan batalyon.Â
Jika teritorial, belum sampai komandan Kodim. Â Masih setingkat kabupaten kota, maka jika sudah menasional, tentu sangat luar biasa. Satu tanya, apa bisa demikian jika tidak menyandang Yudhoyono atau anak presiden sebagai berkat baginya.
Tentu tidak ada yang salah dengan hubungan darah, hubungan biologis, siapa yang bisa meilih mau lahir di istana atau sebagai anak apa. Semua juga  sah, namun apakah capaian itu bisa sedemikian mulus jika sama-sama melangkah dengan jalur normal dan wajar saja?
Budaya keraton, keturunan, dan "darah" sangat akrab bagi budaya hampir semua di Nusantara ini. Keturunan, berkaitan dengan darah, dan  anak siapa yang bisa menjadi apa. Raja akan mewariskan istana dan kursinya jelas kepada sang putera. Tidak bisa orang lain mengambil alih atau mencoba kecuali dengan pemberontakan, dan itu sangat tidak mudah. Risiko sangat besar dan belum tentu juga mampu.Â
Keturunan berarti bukan soal kemampuan dan kualitas. Yang penting anak raja pasti akan jadi raja, tentu satu saja anaknya, yang lain, berharap saja ada keadaan luar biasa, maka, bisa saja pertumpahan darah baik langsung atau tidak. Misalnya racun, atau main guna-guna. Tentu hal itu, masa lalu.
Kekinian, apa yang berkaitan dengan trah, darah, keturunan ini ternyata masih juga berpengaruh. Bagaimana anak presiden, anak politikus, anak pejabat, akan dengan mudah memasuki jalur yang sama. Istri atau suami saling berganti peran dalam jabatan yang sama. Tidak sedikit ketika salah satu misalnya suaminya usai memimpin dua periode digantikan istrinya, atau sebaliknya. Soal pembangunan tidak berjalan, tidak menjadi halangan juga.
Kembali berbicara satu nama yang sekarang merangsek ke pentas nasional, Agus Harimurti, baru setahun lalu keluar dari militer aktif dan mauk dalam gelanggang pilkada DKI, menjadi paling buncit, dan kini bisa bersaing dengan pemenang pilkada untuk jabatan yang jauh lebih tinggi, wapres. Ini memang masih polling, survey, dan riset yang sangat cair, apallagi toh dikenal di sini sebagai hal yang bisa sangat berkaitan dengan kepentingan. Keilmiahannya  masih bisa "direkayasa". Tanpa Yudoyono, apa mungkin?
Apa yang terjadi selama ini, toh AH masih juga sebatas begitu-begitu saja, mendirikan dan menjadi pengendali the Yudhoyono institute,mengunjungi Ahok, dan kini keliling dalam acara sosial karena sedang panen angin ribut, banjir, dan gunung meletus.Â
Belum pernah menanggapi isu nasional dengan kritis, cerdas, dan luar biasa. Misalnya kasus anggaran Jakarta, soal Golkar dan Setya Novanto, atau tarik ulur dewan soal KPK.
Tunggangan yang sudah siap laju kencang dengan partai politik, Demokrat, meski sedang kandas dan banyang bolong toh jauh lebih baik daripada seperti Prabowo, Wiiranto, Harry Tanu, dan banyak politikus yang belum punya kendaraan. Jelas ini sebuah keuntungan besar.Â