Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ping Pong dan Simalakama Anies Baswedan

30 November 2017   09:30 Diperbarui: 30 November 2017   18:16 4461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ping-Pong dan Simalakama Anies Baswedan

Ping-pong dan simalakama Anies Baswedan dimulai. Permintaan alumni 212 serasa simalakama bagi Anies Baswedan. Sisi lain selaku gubernur telah berucap, namun sisi lain juga tahu konsekuensi logis yang tidak mudah akan didapat. Jurus paling ampuh jelas dengan melemparkan tanggung jawab pada kepolisian.

Soal reunian, entah kapan mereka berpisah kog sudah kumpul lagi. Ada yang mengatakan agar "kekuasaan" mereka tidak luntur, atau mengingatkan pada pihak-pihak tertentu bahwa mereka masih ada. Semua sah-sah saja sebagaimana alam demokrasi berpendapat itu bebas, asal masih berdasar bukan asal bunyi apalagi hanya berdasar asumsi ngawur. Berbicara gerakan moral toh dipertanyakan juga, mana suaranya soal korupsi, atau korupsi sudah benar secara moral? Atau meihat pelanggaran jalanan yang begitu marak, apa sudah sesuai moral juga? Itu hak 212 untuk menjawab dengan perilaku dan pemikiran.

Simalakama benar-benar sedang mengayut dalam benak sang gubernur. Bagaimana jauh hari kepolisian Jakarta telah mengatakan soal pengamanan kami siap melakukan, soal izin ada di tangan pemerintah provinsi. Menarik apa yang disampaikan wakil gubernur, bahwa beliau tidak menangani masalah Monas dan penggunaannya, itu ada di tangan gubernur. Gubernur menyatakan itu wewenang kepolisian, dan bahwa izin itu sudah turun. Artinya, gubernur telah menyatakan hal yang tidak semestinya. Katakan saja sebagaimana awal kalau memang mau menggunakan Monas untuk itu, mengapa harus melemparkan ke kepolisian?

Susah posisi gubernur yang telah banyak bicara yang cenderung asal berbeda dan bukan Ahok. Mau mengizinkan tahu banyak yang tidak setuju termasuk menkopolhukam yang menyebut tidak ada gunanya. Coba masak gubernur mengizinkan acara yang tidak berguna. Tapi menolak jelas saja akan menjadi sangat berat bagi posisi gubernur. 

Ingat beliau tidak punya partai politik, di dewan bisa berbahaya, secara politis, kekuatan aksi ini memang secara resmi kelembagaan tidak ada, namun toh rumor-rumor yang ada cukup nyaring bahwa mereka lah yang sukses membawa Anies ke pucuk pimpinan Jakarta. Paling tidak secara tidak langsung selama kampanye banyak hal yang seiring sejalan, baik ide, gagasan, dan aksi-aksi  mereka. Bentuk "dukungan" yang diberikan selama berjilid-jilid itu tentu kini gantian ditagih untuk "hanya" izin" lagi.

Pemerintahan yang tidak mudah, bagaimana ibukota negara namun malah seolah "bertikai" dengan kepentingan pusat. Soal ini jangan sampai menjadi "masalah" kedua, bagaimana soal reklamasi sudah "ribut" dengan Kemenko Kemaritiman, kali ini juga akan menghadapi "pertentangan" dengan Kemenkopolhukam. Bagaimana jadinya ketika gubernur dan pemerintah daerah ibukota tidak sinkron dengan pemerintahan pusat dalam hal yang tidak mendasar pula sebenarnya. apalagi ditambah dengan rencana pembubaran  Ormas yang banyak berkaitan dengan aksi ini.

Sumpah jabatan telah terucap dan menyatakan setia dan mengawal Pancasila dan UUD '45, bila gubernur mendukung kegiatan yang jelas-jelas mengusung jiwa atau spirit anti pancasila, bagaimana sumpah jabatannya? Ingat selama ini bangsa ini terlalu naif, toleran, dan justru memberi angin  pada perilaku jahat dengan muka manis. Musang berbulu domba baik dalam hal radikalisme, korupsi, terorisme, dan banyak hal. Contoh, soal kepemimpinan asal santun, meskipun maling dipuja, dibela, dan dipilih lagi dan lagi. Berbeda dengan pemimpin yang au berkelahi demi kebenaran, toh karena tidak simpatik ditinggalkan. 

Demikian juga dengan pelaku maling berdasi itu, karena santun, selalu menyitir kalimat suci, dibela mati-matian, disanggah bahwa telah maling. Atau penghujat kelas kakap dengan caci maki di depan umum karena menyandang gelar agamis aman sejahtera melakukan cacian bahkan penghinaan agama lain dan lambang negara sekalipun. Eh mengaku sebagai pembela, padahal juga mencaci, di mana coba konsistensinya.

Politik dan agama itu haus seiring sejalan dalam arti bahwa politik yang bermartabat, politik yang dijiwai oleh agama, pelaku politik berjiwa agamis, bukan semata selalu mengutip kata Kitab Suci, namun perilakunya. Mana ada orang beragama namun munafik, menebar kebencian, menyerukan kekerasan. Tidak pernah sekaligus religius namun iblis juga bercokol dengan mantab. Jika demikian berarti iblis berpakaian ala malaikat. 

Gampang kog ciri agama yang telah menjadi jiwa seseorang itu. Jelas pribadi itu cinta damai dan persatuan, bukan malah kebencian dan permusuhan. Halus budi bahasannya, bukan demi pencitraan namun keluar dari dirinya. Mana ada sebenarnya agamawan yang tukang mencaci maki dan menebarkan kebencian sekaligus kebohongan coba. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun