Khofifah, Yenny Wahid, Letusan Gunung Agung, di antara Mensos dan Gubernur Jatim
Pagelaran pilkada Jatim akan juga panas, tensi memang tidak akan setinggi DKI, karena kontestan relatif sama. Paling banter akan berivalitas dengan sengit soal "berebut" warga NU dan restu kyai di sana. Siapa paling banyak ia dapat. Karakteristik warga yang masih sangat patuh kepada dhawuhkyai turut sangat membantu pemetaan calon pemilih dan calon yang akan dipilih.
Pas keadaan kegentingan secara sosial, waktu yang bersamaan Menteri Sosial izin presiden untuk maju pada pilkada jatim. Bu Mensos Khofifah ketiga kalinya maju dalam pilkada yang sama. Beberapa hal menarik bisa disimak dan dilihat sebagai sebuah kesatuan. Ada beberapa hal yang saling berkait dan berkepentingan jika berkaca dalam koridor politik, apalagi jika politiknya masih jauh dari harapan soal kinerja dan prestasi.Primordial, kesamaan dalam hal-hal tertentu masih jauh lebih berpengaruh.
Tiga kali maju dan dua kali nyaris. Menarik apa yang menjadi "pertaruhan" Bu Khofifah. Tentu banyak yang ingat dan masih juga tahu, kalah terhadap siapa beliau. Demokrat, bukan soal siapa orangnya. Toh prestasi gubernur lampau juga tidak menonjol, kaki tangan Demokrat lah yang menjulur dan dua kali kalah dengan catatan yang tidak nyaman. Kontroversial itu lebih nyaring. Kini di posisi mendukung. Apakah ini seolah "balas budi" atau "penebus dosa" di  masa lalu? Tentu bisa dilihat dengan nalar seperti apa warna yang dominan.
Bu Khofifah sebenarnya secara faktual terdegradasi jika mencalonkan gubernur. Menteri jelas lebih tinggi dari gubernur. Kelihatannya hanya soal "pembuktian diri" dan penasaran mengapa kalah, jelas karena bukan kalah secara kualitas. Menjadi menteri pun beliau menjadi salah satu yang di dalam kaca mata rakyat baik. Presiden juga demikian karena toh masih juga bertahan usai dua kali resufle. Memang belum tentu sama pandangan presiden dan masyarakat seperti salah satu yang tergantikan dan kini jadi gubernur. Â Nampaknya kalau ibu yang satu ini tidak demikian.
Miris jika kali ini kalah, partai pengusung  toh bukan yang terkuat juga, masa lalu dan tidak lagi moncer. Masih diperlemah pemilihan wakil yang membuat keriuhan. Modal yang lemah dan bahkan diperlemah. Ingat bangsa ini masih belajar demokrasi, dan bukan prestasi yang menjadi pertimbangan, malah cenderung kontroversi memenangkan kontestasi dalam banyak pemilihan.
Mensos tentu perlu pemangku yang baru. Jika menilik asal muasal atau latar belakang Ibu Khofifah yang aktifis NU, tentu dari sanalah yang paling berkesempatan menggantikannya. Tidak berlebihan jika melihat sepak  terjang Yenny Wahid, puteri presiden keempat negara ini. Kemampuan tidak perlu diragukan lagi. Pengalaman juga menjanjikan. Birokrasi paling-paling yang akan sedikit  merepotkan.
Toh sebagai pribadi yang matang, berpendidikan, dan pengalaman mendampingi Gus Dur almarhum secara langsung bisa mengatasi kendala yang mungkin terjadi berkaitan dengan birokrasi. Â Mbak Yenny toh cukup banyak pengalaman langsung baik berpolitik, berorganisasi, dan bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat. Â Ini jelas nilai tambah yang layak menjadi kekuatan jika memang menjadi menteri. Jalinan komunikasi lintas agama tentu sangat membantu kinerjanya. Masalah sosial tidak sesederhana bencana alam atau kejadian luar biasa saja. Selama ini permasalahan konflik baik interagama ataupun antaragama seolah belum tersentuh dan sering hanya mengandalkan kesaktian sang waktu dan si lupa yang menyelesaikan. Ketokohan Almarhum Gus Dur, Ibu Shinta Nuriyah dan sepak terjang Mbak Yenny sangat membantu untuk menyelesaikan hal ini tentunya.
Mentor presiden dan ibu negara secara langsung. Keberadaan dua guru sosial dan politik yang bukan sembarangan sangat berpengaruh bagi  Mbak Yenny jika memang dipercaya dan dipilih untuk mengemban jabatan itu. Model terobosan yang belum tampak bisa diharapkan terjadi.
Keberadaan suami yang seingat saya adalah berangkat dari politik yang berseberangan tentu sangat menguntungkan pemerintahan dan kepentingan kebangsaan. Menemukan titik temu dan kesamaan dalam alam demokrasi sekarang ini tentu jauh lebih penting dan menguntungkan. Tidak perlu berpikir yang buruk, namun ketika demi bangsa dan negara yang lebih baik mengapa tidak?
Pilkada Jawa Timur membawa implikasi panjang karena adanya pergantian menteri dan bupati segala. Seolah rotasi yang cukup banyak akan terjadi, baik pusat, daerah dengan dua bupati yang terlibat, sehingga cukup menarik. Asal saja tidak erlu mengungkit soal SARA, soal agama seragam, namun bisa saja melebar ke soal jenis kelamin dan sebagainya.