Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menanti Dewi Perssik Menjadi Duta Transjakarta

27 November 2017   09:03 Diperbarui: 28 November 2017   10:03 4750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi Perssik dan Angga Wijaya saat ditemui di lokasi shooting sinetron Ada Si Manis di Jembatan, di Studio Persari, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (20/10/2017). | (Kompas.com/Ira Gita)

Drama ala DP kembali tercipta. Kata Mbah Peank alias Hulk, inilah drama teletubis. Harapannya penyelesaian bukan berpelukan ala kartun ini. Saling melemparkan versi dan ribut namun bisa saja akhirnya berpelukan dan saling memaafkan. Hentikan drama model begini, selesaikan masalah sesuai proporsinya. Kala DP merasa dipermalukan, memang penjaga juga tidak merasa dipermalukan?

Semua tentu mengemukakan versi yang "membenarkan" pihaknya, dan sebisa mungkin menghindarkan diri dari masalah baik hukum ataupun sosial. Inilah mirisnya budaya kita yang katanya adiluhung, luhur, namun selalu ada dua versi dan tidak memiliki sikap ksatria untuk mengakui kesalahan. Menuding pihak lain dan dirinya pasti benar.

Tentu hanya menyimak pemberitaan, apalagi obyektivitas bermedia masih juga masih menjadi persoalan tidak akan bisa sedekat mungkin yang semestinya. Menimbang dari rekam jejak dan model perilaku yang terjadi, semua mengandung hal baik buruk atau pun baik. Posisi mana lebih benar biar saja peradilan yang membuktikan.

DP, melalui konferensi pers mengatakan bahwa ia merasa dipermalukan. Ia sempat mengatakan, penjaga itu budeg. Ini sudah berjarak, masih keluar kata-kata umpatan yang kasar, apalagi pas kejadian. Bisa diduga jauh lebih kasar dan mempermalukan petugas tentunya. Apa juga petugas tahu di dalam itu sesak nafas, atau gagal jantung sekali pun karena itu adalah mobil pribadi. Sebenarnya kan jauh lebih bijak dan cerdas bukan minta pengawalan entah polisi atau tentara atau preman, minta saja dikirim ambulans, jauh lebih membantu dan tidak akan jadi heboh. Ingat ini tahun 2017 bukan tahun 70-an, Jakarta lagi. Ambulans bukan barang mewah.

Petugas jalan dan penjaga itu juga manusia lho, memang kadang arogan, kasar, saklek, namun toh mereka juga bekerja, bisa juga punya masalahnya sendiri. Kalau memang mereka berlebihan, tidak profesional, kasar, jelas mereka punya atasan kok, laporkan saja. Kan akan ada tindakan. Sisi sebelah yang merasa benar karena urgen dengan membawa orang sakit, siapa atasanya? Di sinilah masalah, ketika orang tidak membawa pertimbangan moral asal diri benar dan berkuasa bisa berlaku seenaknya sendiri.

Pengawal, entah ini siapa, pemberitaan tidak menyebutkan dengan jelas sepanjang media yang saya baca dengan relatif cepat karena toh isinya juga begitu-begitu saja. Ada masalah, bagaimana jika ini aparat yang seharusnya taat aturan, jelas lah mereka tahu aturan. Jelaskan saja lebih bijak memanggil ambulans daripada berkepanjangan. Jika ini aparat atasan wajib memberikan teguran, sanksi, dan selidiki adalah potensi pidana lain, misalnya menjadi pelindung perilaku kriminal lain. jangan lupa satu kejahatan biasanya berkaitan dengan kejahatan yang lain.

Penyelesaian selama ini hanya damai, tidak mau ribut, memaafkan, dan sejenisnya membuat keadaan negeri ini tidak makin baik. Egoisme, merasa diri paling benar, paling berkuasa, paling kuat, menciptakan hukum rimba bukan hukum negara yang tegak berdiri. Jika demikian buat apa bernegara, sudah kembali saja menjadi hutan belantara siapa kuat dia dapat. Kalau begitu kan tidak perlu penjara, hakim, jaksa, polisi, dan perangkat hukum lainnya.

Memaafkan itu baik, apalagi orang beragama. Nanti kalau mengaku tidak beragama bisa didemo berjilid-jilid oleh kelompok federasi penthug itu. Tapi pada proporsi dan tempat yang tepat tidak? Jangan asal memaafkan karena perbedaan "baju" saja. Memaafkan pelanggar karena sama pilihan politiknya, sama seleranya, ya bubar hukum ini. tapi itu masih begitu kuat di dalam hidup bersama bangsa ini. Hanya dugaan nyolong ampli mati dibakar, hanya diduga mesum diarak telanjang, direkam, eh pelanggar banyak hal malah dimaafkan. Ingat kan banyak kisah demikian, bahkan menjadi duta ini dan itu?

Hukum rimba dan merasa diri lebih benar karena kaya, kuasa, dan pejabat, atau tenar masih menjadi gaya hidup, mengapa ini demikian kuat?

Bangsa ini masih bangsa gumunan. Kaget dengan orang kaya, orang yang berbeda, beda entah positif atau negatif tidak lagi penting. Hal ini harus mulai dikikis. Musuhilah perilaku buruk, bukan orangnya lho. Eh selama ini perilaku buruk, busuk sekalipun setiap ditutup dengan pakaian atau kalimat suci kabur entah ke mana.

Membedakan pribadi, perilaku, dan orang masih jauh dari harapan. Orang dengan ciri-ciri tertentu sudah pasti baik dan akan dibela mati-matian, padahal jelas-jelas sangat busuk perilaku dan ucapannya. Karena sama pandangannya dalam hal tertentu dianggap semuanya benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun