Sandiaga Uno, ABG Putus, dan Perilku Anti mantan
Abg yang belum matang, yang sedang mengalami cinta pertama kemudian putus, biasanya akan membuang apapun yang berkaitan dengan sang mantan pacar. Tidak kadang yang sudah dewasa pun mengalami yang sama, dewasa usia bukan psikolgis tentunya. Kalau kata keponakan tua kesurung sega,tua hanya karena terdorong nasi.  Apakah memang semua yang berbau masa lalu harus dibuang? Kan tidak selalu, apalagi jika hanya istilah tanpa mengubah makna apalagi menambah menjadi lebih baik dalam arti yang esensial. Contoh dengan menjelek-jelekan atau mencari kejelekan si bekas itu, mantan masih terlalu baik, bekas malah, apa sih yang didapat? Kepuasan. Apakah menambah sesuatu? Sama sekali tidak, selain memperparah sakit hati  dan melukai diri sendiri sebenarnya.
Perilaku anak sekolah dasar kelas tiga hingga lima, juga tidak kalah lucunya. Jadi ingat  pas masih SD kemarin ketika keponakan datang dan menggeser budhenya yang ia nilai "melanggar batas" pas duduk bersama. Iya aku dulu juga begitu pas di sekolah dengan kelas segitu, teman yang menjorok akan dicoret atau kita akan dicubit atau dipukul penggaris kalau lewat batas mejanya, maklum meja panjang dipakai bersama.  Eh ini ada pejabat yang seolah berbuat seperti anak-anak ini....
Susah berpikir tentu pola pendekatan duet DKI kali ini, kalau pas pra pencalonan dengan embuat antitesis dengan apa yang dilakukan gubernur lampau atau pas kampanye menyudutkan pihak lain dengan asal sih wajar, normal, biasa, dan bahkan ya memang itu yang dijual, masih bisa diterima akal sehat. Aneh dan lucu kalau pejabat pola pendekatan hanya asal berbeda, pokoknya berubah, mau dibawa ke mana arah kepemimpinan yang dijanjikan jika demikian.
Salah satu yang paling baru, kemarin membaca dalam Kompas. com, seperti di bawah ini: http://megapolitan.kompas.com/read/2017/11/25/11173291/salah-ucap-sandi-mau-bikin-sayembara-ubah-nama-ketuk-pintu-layani-dengan
dengan alasan susah dan beliau salah sebut, ah diganti saja, brand yang menarik, mudah diingat, dan sangat mengenal. Apakah itu menyangkut kualitas, pelayanan, penanganan, atau jalannya program bukan menjadi acuan. Apakah tidak akan habis masa lima tahun hanya untuk mengubah nama, istilah teknis dan program yang begitu banyak tanpa mengadakan evaluasi, semata karena programnya susah diingat, artinya ini sangat subyektif.Â
Seorang pemimpin bukan saja berbicara subyektif, suka atau tidak, namun tentu menyeluruh, tog jajaran sudah hapal, bisa berjalan dengan baik, mengapa tidak ditanyakan apakah nama itu bagi jajaran yang menjalankan susah atau tidak? Jangan-jangan mereka menyukai dan bahkan menjual? Bisa celaka kalau salah sebut dan nanti diganti semua bisa berabe, karena tidak suka sepak bola dilarang dan karena suka lari atau bersepeda nanti dipaksa semua bersepeda, lha apa beda dengan kepala negara sebelah yang harus dituruti itu jika demikian?
beberapa waktu lalu ada istilah juga yang tidak menggantikan esensi dan "tidak mau" memakai. Soal rusun, katanya rumah lapis. Lha memang apa bedanya, apa esensi antara susun dan lapis sih? Jelas kalau kue pasti lapis, tidak  akan ada kue susun. Atau nanti ada juga larangan menggunakan menyusun tugas menjadi melapis tugas? Sama sekali tidak ada yang esensial kog dengan istilah itu, sangat berbeda jika itu memang salah secara fakta, misalnya menjadi rumah deret padahallapis, atau namanya rumah petak atau yang lainnya. sama sekali tidak mengubah esensi mengapa harus menjadi perdebatan yang berlebihan. Jika alasannya masuk akal, logis, normal bukan karena hanya asal bukan masa lalu ya buat apa, ingat kepemimpinan itu berkelanjutan.
Cara menjawab soaal Tanah Abang yang banyak pihak paham, bahkan Ombudsman selaku badan nasional lho, pun dijawab bahwa ada video, itu masih dugaan, padahal sebenarnya jauh lebih dewasa, bijaksana, dan berwibawa jika menjawab sebagai, apapun yang ada, ada hukum, akan kita tegakkan hukum dengan semestinya, jika itu memang benar pungli, siapapun, silakan polisi terlibat, jika bukan aparat misalnya satpol PP, siapa pelakunya, dan pedagang tidak resah, jalanan tertib, trotoar bukan untuk jualan. Jualan ada di pasar, trotoar untuk pejalan kaki. Semua bisa tertib teratur dan bisa berjalan sebagaimana mestinya. Masih butuh proses.
Belum lagi harapan untuk mobil terbang yang hendak diharapkan mengatasi macet dan transportasi massal yang dinilai masih ketinggalan zaman. Padahal mobil saja masih banyak yang tidak mampu akhirnya menggunakan ojek, kog ini malah idenya mobil terbang apa tidak jauh lebih mahal dan elitis yang menjadi pertimbangan dan pola pikirnya?
Berapa lama sih menjadi gubernur dan wakil gubernur itu? Kan lima tahun tidak sampai. Paling lama empat tahun karea tahun terakhir sibuk untuk periode berikut, kalau hanya bingung ubah nama, ubah istilah, ganti program dan acara dengan esensi yang tidak beruah untuk apa sih? KJP ditambah plus, lha apa bedanya coba?  Kan tidak salah menggunakan nama lama. Tidak usah khawatir prestasi akan dilupakan. Buat saja capaian jelas, terukur, dan  bermanfaat semakin banyak orang. Tidak akan keliru penghargaan itu, apalagi bagi orang beriman kan ada hari esok yang jelas jauh lebih dituju dan diharapkan. Hidup di sini hanya sebagai sarana dan persiapa? Katanya lho ya....