Fahri Hamzah: Khawatir Setnov Jadi Presiden karena Terkenal
Seolah biasa saja, meskipun beberapa media menambahi dengan kata lelucon Fahri, namun sangat maaf bodoh bahkan naif jika yang berbicara selevel pimpinan dewan negeri ini. Atau memang kualitasnya yang rendah? Tentu bisa diartikan sendiri.
Benar bahwa untuk menjadi pemimpin dalam era demokrasi, apalagi sebatas demokrasi level latihan, tenar, populer, dan terkenal bisa menjadi jembatan emas untuk mengantar menjadi sesuatu itu. Apakah itu cukup? Sebenarnya bagi alam demokrasi modern maju, dan berpikir soal politik bersih tentu tidk asal tenar.
Melihat rekam jejak bahwa orang yang becanda berlebihan soal Pancasila malah diangkat jadi duta Pancasila. Atau gadis yang melawan saat mau ditangkap polisi karena melanggar lalu lintas malah menjadi duta narkoba, atau juga papa fenomenal yang dikaitkan dengan berbagai tindak korupsi toh menjadi ketua dewan dan ketua umum salah partai  terbesar di negeri ini. artinya, jika merunut pola pikir dan nalar ini, memang bisa demikian apa yang jadi pemikiran sang pimpinan dewan. Hari-hari ini Setnov sedang paling depan soal popularitasnya, soal dari mana asal populernya tentu tidak menjadi pertimbangan.
Salah satu syarat demokrasi adalah keterpilihan, untuk bisa dipilih memang perlu namanya dikenal atau terkenal itu dulu. Memang tidak mudah ketika demokrasi abai akan etis, orang yang jelas-jelas maling, terpidana, apalagi cuma tesangka atau terdakwa jelas bisa menang karena modal tenar dan modal uang yang jelas. Contoh kasus demikian jangan tanya lagi, bagaimana Aceng Fikri bupati dipecat karena soal asusila saja malah menjadi anggota DPD dengan suara terbanyak, artinya bahwa tenarnya tetap tidak pudar meskipun pernah terkena skandal asusila, hujatan tinggal hujatan sesaat.
Penghargaan akan prestasi masih minim
Orang yang penting tenar, maaf meskipun tenarnya kadang tidak bermutu sekalipun. Tidak heran sekarang yang penting viral, mau viral posistif atau negatif bukan pertimbangan. Media sosial memang sangat membantu. Gagap media sedang menjangkiti, bahkan termasuk level elit, terdidik, dan politikus papan atas sekalipun. Bahkan skandal diciptakan agar bisa menaikan angka penonton bagi media  elektronik, dan itu bisa menjadi tren untuk menaikkan pamor, tidak heran dunia politik yang masih belajar demokrasi ini menjadi acuan. Prestasi yang dicari dengan susah payah seolah tidak berguna, kalah dengan tenar yang bahkan kadang tidak bermutu sekalipun.
Penghargaan atas materi dan gelar
Gelar baik akademik atau keagamaan masih menjadi pujaan. Soal level pengetahuan agama apalagi penghayatannya nol sekalipun tidak menjadi masalah. Apapun agamanya, gak perlu sensi, gelar berderet yang kadang bingung kapan kuliahnya dengan bangga disandang. Pas ditanya bisa saja tidak mampu menjawab, toh banyak yang tidak malu. Berkaitan juga dengan kekayaan dan materi. Sepanjang materi, uang, asalnya dari mana tidak penting, ya sudah semua hancur lebur. Â Semua bisa dibeli. Gelar dibeli, jabatan dibeli, kebenaran dibeli. Dan itu pun jaminan untuk tenar, dipuja, dihormati, dan menjadi tangga untuk naik derajat, meskipun palsu tidak menjadi pertimbangan.
Orientasi akan hasil bukan proses
Budaya bangsa yang masih hanya soal hasil ternyata sangat berpengaruh. Meskipun antifasis toh para pelaku politik cenderung sangat fasis, ketika menggunakan cara asal menang, asal berkuasa, soal benar dan salah masih bisa diatur. Proses, kerja keras apalagi kerja cerdas bukan menjadi pilihan. Potong kompas dan terabas menjadi gaya hidup yang sangat mengemuka. Jangan kaget kalau karena kaya bisa menjadi apa saja. Mental priyayi sangat merusak tanpa adanya pendidikan dan penyadaran.