PKS dan Pemilu 2019
Sepak terjang partai dakwah yang memakai simbol putih sebagai lambang kesucian politik ini memang makin miris. Pernah menjadi sebuah harapan baru dengan jiwa, pimpinan muda, muda dalam arti nyata bukan wacana apalagi sebatas retorika, kaderisasi mumpuni, dan intelektualis, kini seolah tinggal nama besar masa lalu. Sempat memutihkan Jakarta dan masuk jajaran elit di pemilu legeslatif, tidak heran mereka pun pernah berani mengusung kadernya di pilkada DKI. Mengalahkan saudara tua dalam ideologi partai agama seperti PPP, PKB, atau partai mendua seperti PAN, bahkan jauh meninggalkan PBB yang memiliki kader besar yang pernah nyapres segala. Sangat potensial, namun kini, di pilkada pun mereka harus "merengek" ke partai lain, dan ada sinyalemen mereka "membajak" pula Prabowo S untuk pilpres mendatang. Mengapa setragis itu?
Friksi yang Tidak Terkelola dengan Baik
Ini bukan rahasia lagi, dan bukan khas atau satu-satunya milik PKS, toh P3 dan Golkar mengalami hingga berlarut-larut sampai ke pengadilan yang sangat melelahkan. Mereka seolah tidak ada masalah, namun nyata adanya kubu yang cenderung tetap pada pola lama, sebagaimana tampilan Hidayat Nur Wahid, Tifatul, dan  kader angkatan tua yang sikapnya ke pemerintah sangat keras dan selalu miring nada yang disampaikan. Jelas nyata kepengurusan di tangan Sohibul Imam yang jarang berteriak pernah menghadap presiden. Hal ini jelas saja membuat konsolidasi tidak bisa berjalan. Memang akan dijawab ke muka massa mereka baik-baik saja. Namun dengan model sikap terhadap isu dan kebijakan yang tidak sejalan mempertontonkan adanya kepemimpinan yang tidak solid.
Ideologi Gamang
Identik dengan soal friksi tadi, kalau hal ini soal mau terbuka atau tertutup mengenai ideologi dakwah mereka. Ada yang mau tetap solid sebagai parpol dakwah, namun juga realistis untuk paham terbuka dan ini tidak ada kesatuan yang baik di dalam, keluar jelas nampak dengan perilaku mereka yang tetap mempertontonkan keinginan kelompok dan keyakinan bukan kesolidan partai. Jelaskan dulu mau yang mana kiprah mereka. Pilihan jelas akan sangat membantu mereka sendiri. Kader akan tidak bingung, apalagi simpatisan.
Konflik Pemecatan Fahri Hamzah
Peristiwa ini sebenarnya kecil dan wajar namun mempertontonkan kualitas kepemimpinan PKS Â yang rapuh. Memecat kader saja presidennya tidak mampu, padahal posisinya strategis, pimpinan dewan. Bagaimana simpatisan bisa percaya partai model demikian, dan kecenderungan Fahri juga kontraproduksi bagi partai selain dirinya. Tentu membuat kader menjadi keder untuk tetap yakin pada garis partai. Yang dulunya bisa merasa yakin dengan jalur ini kemudian mulai berbalik arah dan meninggalkannya, termasuk para simpatisan.
Hasil Propaganda Pilpres yang Gagal
Jelas paling fatal pada pasca pilpres. Paling getol dan seru mengenai sinyalemen kecurangan, namun tidak ada bukti, dan Gerindra pun tidak begitu keras dan lantang seperti mereka. Gerindra sebagai pengusung utama malah tidak mendapatkan getah pahit soal ini, malah PKS yang jauh lebih tenar sebagai partai data bodong. Tentu hal ini pilihan fatal yang diusung oleh para penganut butanya yang masih terus diusung lewat pasukan media sosial mereka hingga merembet ke pahlawan dan gambar pahlawan di uang segala.
Korupsi dan Perilaku Elit PKS yang Menghianati Jargon Partai