Selamat kepada bangsa Indonesia yang merayakan 72 Kemerdekaannya. Merdeka!
Menyaksikan bangsa yang besar merayakan kemerdekaan dengan segala kemegahan budayanya membuat bangga. Lebih membahagiakan lagi ada empat presiden dalam satu panggung yang sama. Istilah mantan presiden sangat tidak pas sehingga terkesan pemerintahan itu bukan berkesinambungan, sehingga bisa saling menyalahkan, saling tuduh, dan saling serang. Momentum persatuan di dalam kerja tepat kiranya.
Empat Presiden, Simbol Bersama Bekerja
Sependek yang saya ingat baru kali ini ada para presiden datang, menghadiri, dan duduk bersama di istana untuk mengikuti upacara bendera hari kemerdekaan. Dalam suasana kemerdekaan yang ketujuh puluh dua, sembilan windu, angka yang cukup dewasa, dan diwarnai dengan kedewasaan politikus yang pernah memerintah negeri ini untuk hadir bersama. Istana sebagai simbol negara, bukan Lenteng Agung, tidak ada Cikeas, atau Hambalang, atau Ciganjur, namun istana. Pusat di sana.Â
Politik dan Kekuasaan Terbatas, Berbangsa dan Benegara Abadi
Calon negarawan dan politikus bangsa ini perlu belajar dan menyadari, kekuasaan terbatas, ada periodenya, jangan berpikir yang mengganti itu menyerobot, namun memang estafet dan berkesinambungan. Melihat empat presiden berbahagia di sana sungguh bangsa ini disuguhi persatuan, bukan semata slogan, namun nyata, ada di sana. Bagaimana selama ini selalu menyatakan persatuan namun diwarnai kenyataan sebaliknya. Atasi perasaan politikus sebagai anak negeri, beri teladan bagi anak cucu bangsa ini, bahwa elit pun bisa duduk bersama, apalagi lebih hebat lagi jika duduk bersama  memikirkan bangsa dan negara ini, bukan malah mengganggu apalagi menggoyang dengan berbagai-bagai masalah yang  cenderung iri dan dengki semata.
Kemerdekaan Budaya
Sependek ingatan saya, presiden mengenakan pakai adat bangsa ini di dalam acara resmi baru kali ini, yang sensi gak perlu sewot, apalagi cuma karena iri dan dengki. Â Jas tidak ada yang salah, tidak ada yang menyalahi aturan, namun alangkah eloknya jika salah satu kekayaan budaya itu diangkat dan menjadi ikon bangsa. Lihat Muamar Kadafi dengan pakaiannya, atau Yaser Arafat dengan "topi" khasnya, coba mungkin kalau presiden bangsa ini menggilir satu demi satu pakaian adat setiap suku, sampai negara bubar belum akan selesai. Â Memang tidak mudah dan sederhana, namun bisa dipilih tematis, tahun ini Kalimatan misalnya, tahun depan Sulawesi, dan seterusnya. Pakaian budaya yang mahal itu bisa menjadi terjangkau.
Kekayaan Budaya
Budaya kita sangat melimpah. Bisa dijual dan dijadikan komoditi. Olah raga yang pernah berjaya sebagaimana bulutangkis pun kini meredup, apalagi jika bicara sepak bola, sering terhenti pada harapan. Saatnya budaya menjadi andalan untuk pariwisata, diplomasi, dan banyak hal bisa dijual dari sana. Sering budaya bangsa ini mati, karena elitis, mahal, dan tidak ada yang meneruskan. Â
Tidak salah pula bila budaya itu menjadi pesaing  dalam arti positif dengan teknologi. Eropa, diikuti Jepang, kini Korea Selatan, dan bahkan Tiongkok sudah melesat jauh di depan. Kita memang masih bisa mengejar, itu, namun mengapa tidak menjual yang pihak  lain tidak memilikinya. Jika budaya itu jelek, murah, dan tidak membanggakan, tentu Malaysia tidak akan mengakui wayang, reog, dan kawan-kawan sebagai budaya mereka.
Budaya Feodal  Masih Kuat
Apa yang ebrbau asing, baik Barat atau Timur Tengah, atau kini Korea dianggap sebagai lebih baik. Tidak lantas menjadi antiasing, namun memiliki karakter dan kekhasan bangsa yang eolah terlupakan. Jangan harap suatu saat nanti, jonggan, wayang, ludruk, ketoprak, srimpi, pendet,dan banyak lainnya hilang kalah dengan K-Popdan kawan-kawannya.Â
Peninggalan kolonialisme sangat mengakar justru yang buruk, bukan yang baiknya. Kedisiplinan Eropa tidak nampak di sini, namun gila yang berbau asing sangat melekat bahkan hingga 72 tahun bangsa ini merdeka.  Suap, kolusi, dan nepotis gaya kolonial apalagi, masih merongrong hingga detik ini. Orientasi pejabat bukan sebagai pelayan, namun sebagai  birokrat, priyayi,yang memiliki banyak privilegi khusus lebih dominan.
Kemerdekaan sebagai Bangsa
Elit apapun bisa tercipta sepanjang masih ada diskriminasi dan pembedaan dengan mudah diterapkan. Bangsa ini makin mundur justru di dalam hidup bersama. Dulu tidak akan ada yang sensi dan marah dengan China, Arab, atau kalimat candaan agama dan ras, mengapa  kini menjadi mudah marah dan ngamuk hanya karena hal sepele? Diciptakan. Politikus adu domba, hasil politikus malas yang merajalela. Kekuasaan sebagai tujuan, membuat orang yang berkecimpung dalam politik mendapat kelas tinggi, sehingga menggunakan segala cara untuk itu. Kita pernah tidak peduli dengan mayoritas dan minoritas, mengapa hal itu diungkit dan dipakai untuk saling serang?
Reorientasi Pendidikan
Pendidikan yang mengantarkan generasi muda untuk penjadi priyayigaya baru perlu diganti. Terutama dalam pendidikan kedinasan di Indonesia seperti Akademi TNI, Akpol, STPDN, dan kawan-kawannya. Pendidikan ala STOVIA,masih begitu kuat. Berjarak dengan masyarakatnya. Ini bangsa merdeka, bukan bangsa jajahan. Ironis jika malah penjajahnya bangsa sendiri. Pendidikan elitis mulai tercipta dengan seragam khusus, seperti kedokteran, atau militer. Ini sebenarnya hal kecil, namun pengaruh negeri jajahan dan mental kuli sangat terasa.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H