Nasi Goreng vs Bubur Lemu
Nasi goreng, jelas makanan yang mengenyangkan, disukai banyak orang, enak, gurih, bisa dari harga murah hingga mahal. Politikus yang menyajikan dan menikmati tentu serius juga, bicara yang enak-enak, dan serius. Bubur lemu, sebagai makanan sederhana, bisa juga anak-anak dan manusia lanjut usia, dimakan sebagai makanan sarapan atau selingan, memberikan gambaran apa yang terjadi bukan hal yang serius, santai, sederhana, bukan hal yang serius-serius amat.
Institut Yudoyono
Sulit dilepaskan dari kepentingan 2019 bagi Agus atau Ibu Ani jika terpaksa. Strategis dengan mendirikan lembaga seperti ini, kajian, analisis, dan pemetaan banyak hal bisa dilakukan. Â Tidak ada yang bisa melepaskan persoalan pemilu dengan adanya lembaga ini.
Apakah ini salah?
Tentu tidak, namun jauh lebih mendesak bagi Mas Agus sebenarnya terlalu singkat waktu 2019. Jauh lebih realistis banyak belajar, menjadi bupati bisa di Purwarejo dengan menjual darah atau trah eyang dari sisi ibu yang berasal dari sana. Atau pihak bapak dengan menjadi bupati di Pacitan. Atau mencoba menjadi Jatim 1 atau 2 dulu. Ini jauh lebih mempercepat proses belajar baik birokrasi, politik, dan pemerintahan secara faktual. Â
Tidak mudah tentunya mengarah RI-1 dengan kemudaan usia, pengalaman, dan rekam jejak yang belum teruji dalam banyak hal.  Institut ini dapurnya, para koki adalah pekerja yang ada di sana, ahli banyak bidang, namun jika  pemakai  jasa dapur dan koki itu tidak mampu menyajikan dengan baik tentu tidak memberikan efek luar biasa.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H