Poyuono vs Fadli Zon, Salah Jokowi juga?
Gerindra makin riuh rendah dengan tokoh mereka sendiri. Poyuono yang selip lidah soal PKI dna PDI-p tanpa mendapat bantuan dan dukungan dari partainya, malah sanksi yang akan diterima dikatakan oleh pemimpin umumnya Prabowo Subianto dan Fadli Zon.  Merasa tidak nyama dengan kondisinya, tentu ia berupa mencari selamat dengan memuji kinerja presiden. Sindiran makin tajam dari Fadli yang dijawab oleh Poyuono, Zon  sebagai antek Amerika, karena kedatangannya ke kampanye Trump beberapa waktu lalu.
Ingat beberapa waktu lain ada Kompasianer yang mengatakan kalau Fahri bisa dibeli penguasa untuk membuat partai PKS tandingan, Â melihat gerbong Farhi cukup besar, bisa jadi PKS tandingan apapun namanya dengan Fahri sebagai inisiator bisa membuat PKS kocar-kacir. Bagaimana selama ini PKS tidak berdaya menghadapi Fahri, potensi itu bisa saja terjadi.
Pelemahan Partai Koalisi Oposisi
Dua kasus di atas bisa menjadi aktual jika potensi yang ada dikemas, dimain-mainkan, dan ditindaklanjuti dengan politik tingkat tinggi. Motor yang berseberangan dengan pemerintah sejatinya ada pada dua partai politik saja, yaitu Gerindra dan PKS, Demokrat, dan PAN hanya sebatas kepentingan sesaat saja. Artinya jika dua partai politik itu bisa dilemahkan dengan berbagai cara, pemerintah akan kuat. Namun tentu terlalu dini mengaitkan pemerintah ikut mian di sana. Apalagi episode PKS belum mengarah ke sana. Â Atau mau seperti P3 dan Golkar yang bisa menjadi pendukung setia dan utama? Â Masih perlu beberapa waktu untuk mengarah ke sana.
Partai Pendukung dan Otoriter
Hati-hati, jika semua partai mendukung, abai sikap kritis karena cari aman, semua mendukung demi kepentingan sendiri, bahkan menjilat menggunakan segala cara termasuk membenarkan kesalahan demi menapatkan kedudukan, ini bisa berbahaya. Totaliter bisa terjadi ketika sikap kritis sudah dibungkam, dihentikan, dan tidak terjadi dengan bebagai cara. Tidak mesti dicegah dengan kekerasan dan represi, namun bisa juga dengan dikooptasi, dininabobokan, dan dijadikan tenang karena kekenyangan.
Partai Oposisi yang Lemah
Partai politik yang berseberangan yang lemah berpotensi menjadi anak bawang dan tidak berdaya. Ingat periode lalu, bagaimana PDI-P selalu tidak berdaya menghadapi Demokrat dan kawan-kawan yang begitu digdaya. Semua bisa mentah, apalagi jika cara menghadapinya dengan voting, dan itu tentu menjadi pilihan paling disukai yang memiliki kepentingan.
Demi bangsa dan negara, demi kepentingan pribadi, atau kelompok menjadi pembeda.
Tentu kita mengenal nama-nama diktator di dunia ini, tidak perlu mengupas itu, satu yang membedakan, di mana ketegasan itu, tindakan keras itu demi siapa? Diktator cenderung  memiliki keinginan untuk memikirkan diri sendiri. Apapun dilakukan, termasuk merusak negara, sistem, atau  pun partai politik demi kepentingan sendiri. Siapapun yang mengusik dirinya akan dihilangkan, dibungkam, dan disingkirkan.
Apakah itu terjadi kini? Siapa yang dilarang, siapa yang dibubarkan, dan mengapa mereka dinilai melanggar hukum? Sepanjang yang dirugikan itu negara, yang diciderai itu negara, dan yang dihinakan dan akan mendapatkan kerugian itu negara, tentu patut diapresiasi. Â UU, polisi, dan penegak hukum itu bukan pendukung penguasa namun pendukung bangsa dan negara. Bangsa di atas segalanya, negara sebagai satu-satunya yang perlu mendapatkan perlindungan. Kesalahan pribadi-pribadi yang menjadi pejabat pemerintah, sepanjang terbukti harus dibawa ke muda persidangan.
Ketidaktaatan atas azas dan hukum
Tuduhan, kecurigaan, dan segala macam saling sengkarut bangsa ini karena lemahnya ketaatan pada hukum, azas, dan komitmen yang telah disepakati. Masing-masing bisa menerjemahkan, menganalisis, dan menggunakan sekehendak sendiri. Bagaimana hukum susah tegak karena bisa kalah oleh kepentingan. Hakim ketakutan karena gerudugan massa. Hukum masih bisa ditafsirkan oleh semua orang sesuai kepentingannya.  Azas Pancasila sudah dipilih, namun banyak pula yang menggunakannya sebagai sarana semata demi mendapatkan kekuasaan, padahal jelas-jelas mereka  menolak falsafah itu. Komitmen diingkari jangan tanya lagi bagaimana sumpah dan janji jabatan bisa seenaknya diabaikan.
Penegakan hukum yang sangat lemah
Susah mau menegakkan hukum, bagaimana di atas, gerombolan, gerudugan, bisa mengubah keadaan karena kepentingan sendiri dan kelompok. Perangkat hukum masih bisa dibeli. Uang masih bisa mengubah isi pasal dan isi tuntutan dan akhirnya pada putusan. Bagaimana negara modern masih bisa diatur oleh uang dan kepentingan. Â Artinya negara masih bisa dikuasai seberapa banyak uang dan teman yang dimiliki.
Pendidikan dan agama semata formalitas.
Gelar tinggi, berderet, agama semua beragama, status tertinggi dalam keagamaan juga hampir semua memiliki dan bisa menyandangnya, namun sayangnya fitnah pun bisa beredar luas, kebenaran yang diingkari dengan gigih semua demi kepentingan sesaat, pribadi, dan kelompok. Bagaimana mengaku beragama namun sekaligus menistakan kemanusiaan dan Keilahian demi jabatan.
Bangsa ini bukan lemah karena bangsa asing, namun bangsa sendiri yang tidak taat. Menggunakan segalanya demi kepentingan sendiri dan sesaat.
Salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H