Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seleksi Akpol Polda Jabar: Fenomena Gunung Es, dan Falsafah Kentut

5 Juli 2017   07:25 Diperbarui: 6 Juli 2017   01:18 1934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. KompasTV

Kembali gonjang-ganjing penerimaan sekolah ikatan dinas memanas. Dulu, seperti kakek-kakek saja, sangat biasa mendengar dalam seleksi sekolah demikian, siapa yang membawa, atau kalau tidak diantar oleh orang yang memiliki pangkat di pundak, jangan harap bisa bahagia. Ingat, dulu, pangkat itu di lengan bagi prajurit biasa, di pundak artinya perwira. Semua tahu dan sangat jarang yang normal, bisa melenggang dengan biasa. Rekrutmen BUMN juga tidak jauh berbeda. Identiklah.

Tahun ini, dalam banner penerimaan anggota Polri dalam segala jenjang, di sampingnya ada spanduk yang mengatakan, penerimaan bersih, menggunakan sponsorship kan langsung dicoret, paling tidak demikian peringatannya. Artinya memang mau bebenah secara mendasar. Soal perilaku oknum yang sudah madat uang, beda kasus.

Kentut...

Semua paham, semua tahu, dengan beredaan angin yang menandakan manusia sehat itu bagaimana karakteristik dan akibatnya. Berbau, tidak meninggalkan jejak fisik, dan menghebohkan. Siapa pelakunya susah untuk dibuktikan, apalagi, kalau tidak dibarengi dengan bunyi yang fatalnya, biasanya yang tidak berbunyi itu justru lebih dasyat aromanya. Hal ini juga sama dalam seleksi-seleksi apapun itu yang beraroma uang suap. 

Dua hal yang perlu dicermati, pertama, kalau ngaku, habislah riwayat mau jadi calon pejabat atau aparat minimal. Risiko yang tidak dimaui, wong nyuap biar diterima kok, malah ngaku kalau menyebabkan tidak diterima. Kedua,karena tidak ada pengakuan, jadi lestari sepanjang masa. Susahnya juga tidak akan ada bukyi hitam di atas putih, termasuk sebenarnya apakah uang itu masuk panitia atau tidak.

Fenomena Gunung Es...

Apa yang terjadi di Polda Jabar merupakan hal yang sangat biasa sebenarnya. Semua tahu kog, eh itu kan jauh di bawah si A kenapa ya bisa lolos, di kemudian hari ternyata mobil di bapak A tadi tidak lagi ada di garasi. Transparansi yang mau dicoba lembaga negara susah jika tidak diikuti perilaku terbuka, bersih, dan jujur juga dari peserta dan calon peserta beserta orang tuanya. 

Coba tanya saja pada calon siswa atau calon taruna yang gagal, terutama bukan yang gagal tahap awal administrasi. Benar bahwa ada pula yang kini lho, benar-benar bersih. Acungan jempol kini memang mulai baik dan terbuka sehingga ada harapan perubahan.  Isu-isu selama ini susah untuk dibuktikan, selian memang selalu saja pemain lapangan yang dijerat, sedang yang di dalam bebas merdeka.

Seleksi Akpol Polda Jabar

Aneh dan lucu, bahkan kasar mainnya. Bagaimana tidak seleksi sudah masuk tahap akhir, jelas orang akan dengan mudah melihat, ingat, dan tahu dengan baik kualitas kompetitor mereka. Bukan semata ranah rasa namun bisa jadi fakta, meskipun tidak tertutup kemungkinan emosi dan rasa bermain.  Beberapa hal patut dilihat:

Pertama , mengapa tiba-tiba ada "tambahan" syarat yang konon dari kapolda soal putera daerah. Aneh kalau hal ini  pada seleksi akhir atau menjelang akhir. Mengapa tidak sejak semula sehingga orang tahu bahwa itu menjadi salah satu syarat yang tidak bisa dipenuhi. Akan berbeda jika alasannya pindah tempatkarena kuota yang sangat besat di suatu daerah. 

Alasan ini sangat tidak berdasar, namun jika memiliki KTP, KK, dan memang berdomisili di sana mengapa tidak? Jika hal ini diterapkan bisa kacau malah, nanti banyak anak sekolah yang tiba-tiba seleksi padahal KTP, KK, dan domisili bukan di sana, karena merasa putera darah dan daerah itu potensinya lebih besar.

Kedua, ternyata ini bukan keputusan dari panitia pusat, karena Polri hanya memberikan batasa nputera daerah hanya khusus Papua. Jika demikian, ada kepentingan apa? Hal ini harus dituntut secara serius karena kanker birokrasi memberikan bukti sangat parah. Jangan hanya teguran, apalagi malah mendapatkan promosi.

Ketiga, kapolda hanya berbicara normatif mengatakan ada calo namun tidak pernah mengaku atau menolak soal keputusan putera daera ala sang jenderal. Jika lagi, bukan kapolda yang membuat, siapa, harus ada yang bertanggung jawab. Siapa yang membuat keputusan tersebut. Jika terbukti jelas point kedua harus dilakukan.

Kanker Birokrasi dan Mental Pejabat

Salut untuk keberani orang tua yang merasa dijegal itu untuk protes. Tanya kemudian, apakah yang lolos dan diam juga benar-benar murni? Kemudian yang marah itu benar murni karena tidak lolos karena tidak kalah kualitas, namun memang dikalahkan itu tidak juga pakai uang? Dua tanya penting yang harus diselesaikan. Selama ini fakta yang bisa mengubah keadaan mendasar sering diselesaikan dengan diam-diam. Hal ini lingkaran setan yang tiada berujung. 

Masuk pakai uang, kerja cari uang. Jelas saja sangat tidak sebanding uang suap yang mencapai ratusan juta dengan gaji resmi. Apa yang dilakukan? Maling, suap, dan sejenisnya. Negara rugi lagi. Naik pangkat, jabatan, uang lagi. Artinya, yang kaya padahal belum tentu baik kualitasnya bisa naik terus. Negara rugi lagi. Kaya belum tentu berkualitas mendapat tempat, hal ini di mana-mana terjadi, termasuk dewan dengan membeli suara. 

Jangan kaget di desa pun hitungan demikian sudah menjadi gejala umum. Untuk menang butuh sekian suara, kali kan saja X rupiah, pasti menang. Negara rugi, pinter, berkualitas, namun miskin dan jujur, tereliminasi, usai sejak awal. Jujur, jelas susah mencari pejabat jujur karena dari awalnya sudah tidak jujur dengan kemampuan sendiri.

Penegakan hukum harus jelas. Jangan pandang bulu, apalagi bisa juga dibeli. Rekrutmen merupakan dasar birokrasi kuat dan sehat.

Pendidikan kritis, hargai proses dan perjuangan, jangan hanya hasil akhir yang sering menjadi  tujuan segalanya. Paradigma sesat yang dipuja sekian lama harus diakhiri.

Keteladanan. Sikap ini masih jauh dari harapan, namun perubahan sudah nampak jelas ada. Sikap optimis perlu lebih digelorakan. Termasuk gaya hidup mewah yang tidak sesuai profil pendapatan.

Negara ini kaya raya,  baik  potensi ataupun aktualnya, namun menjadi hancur karena maling dan dikelola oleh para maling dan calon maling. Rasa malu telah hilang karena memang sejak awal tidak dibina. Malu pada sesuatu yang tidak seharusnya, namun malah bangga pada ranah yang harusnya malu.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun