Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kala Roy Suryo Bermain Bahasa Simbol

20 Februari 2017   05:40 Diperbarui: 20 Februari 2017   13:02 4768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas)

Pilkada DKI belum usai. Panasnya makin meninggi saat ada putaran kedua. Masih ada 17 % dari suara paslon 1 dan 23 % golput yang masih berpotensi dijadikan ajang perebutan oleh dua paslon dengan pengandaian masing-masing calon bisa memegang suara mereka dengan ketat. Menarik ada ke mana Demokrat menginjakkan kaki dengan berbagai pertimbangan dan latar belakang. Apa yang disampaikan Roy Suryo cukup menarik, sangat jelas meskipun tidak lugas saat menjawab ke mana mereka akan memberikan dukungan. “Lihat baju saya, “ sambil biasa tertawa gak nyambungnya.

Putih, berarti bukan kotak-kotak, semua jelas meskin tidak lugas. Apakah sejelas itu sehingga Anies mendapatkan kisaran 57% dan Ahok, sisanya? Matematis iya, namun belum tentu demikian politis. Seberapa jauh kira-kira Demokrat memang ke putih?

Pertama, Pak Beye sangat biasa dan familiar dengan main dua kaki. Pilpres kemarin jelas kelihatan mendapatkan dua kursi wakil ketua dewan dan majelis, namun menyatakan tidak mendukung capres tertentu. Roy biasanya tidak mencerminkan suara Pak Beye, ingat Demokrat sama dengan Pak Beye. Kali ini lebih cenderung tidak mendukung secara terbuka namun tetap mengarahkan ke mana suara pemilihnya. Aman ke mana-mana, tidak jadi yang didukung toh tidak kelihatan masih ada harapan mendapatkan sesuatu tentunya.

Kedua, ini bukan semata Demokrat. Gabungan partai harusnya mendapatkan lebih dari 20% suara, ke mana yang kisaran 3% ini? Belum lagi kerja relawan mereka bisa saja non partisan. Memberikan indikasi parpol tidak bekerja maksimal. Masih bisa ke mana-mana. Parpol terutama Demokrat belum memiliki pengikut militan, malah main dua kaki iya. Di sinilah peta sesungguhnya bisa dicermati.

Ketiga, faktor fundamentalis dan radikalis yang main dua kaki di putaran pertama. Pak Beye selama ini ahli memainkan strategi ini, kali ini kena tendangan balik yang sangat telak, bukan hanya telak. Kalau bela diri ini sudah kena ulu hati dan membuat limbung dan di tinju mulai dapat hitungan. Mau kena rahang juga yang membuat terkapar dan tidak bangun lagi? Tentu Pak Beye sudah menghitung.

Keempat, keberadaan dan komunikasi Roy Suryo. Masih kalah jauh dari Ruhut kepiawaian dan keluwesan dia dalam memainkan peran. Sebentar lagi Ruhut akan menjawab dan itu justru mempermalukan Roy. Lebih didengar Roy atau Ruhut bisa dilihat dari suara pemilih kemarin.

Kelima, soal DP nol persen yang mulai digoyang dan Anies kelabakan. Jawaban ngeles dengan menabung ganti dengan pemerintah provinsi yang memberikan DP saat BI mengatakan dilarang DP nol persen untuk perumahan. Tentu hal ini bisa dimainkan dengan cerdik oleh timses kubu sebelah. Isu bagus untuk diolah tanpa perlu merendahkan atau menilai salah satu kubu sebagai menipu, bodoh, atau sebagainya. Jadikan isu ini sebagai bahan yang baik, berkelas, dan cerdas. Sajikan data-data yang membuktikan kalau ide ini tidak akan bisa dilakukan. Itu lebih dari cukup.

Keenam, isu SARA dan politis soal keberadaan Ahok di gubernuran. Jika cantik memainkan isu ini mereka yang akan menang. Siap-siap dengan kecerdasan dan kecantikan permainan, jangan lagi main kayu dan tebar berita bohong. Tidak perlu merasa menjadi korban dan bahasa-bahasa konspirasi, itu sudah usang. Bangun demokrasi modern yang menggunakan isu poltik ya politik bukan agama atau psikologis.

Ketujuh, golput ternyata mengalahkan suara Agus. Hal ini patut dicermati mengapa? Ternyata ada dugaan kartu sesat alamat, apakah ini sengaja atau tidak, bukan yang utama bagi timses namun menggarap ini. jika memang sistematis, biarkan dan bantu “korban” untuk bisa mencoblos, karena habis energi jika terus menerus mengharapkan pelaksana bekerja ideal. Pendekatan dibalik, bukan mengejar mengapa bisa tidak bisa mencoblos namun sekaran usahakan untuk bisa mencoblos dengan berbagai cara. Misalnya karena undangannya nyasar, cari toh media gampang apalagi bagi penduduk Jakarta, dan datangi dan kemudian nyoblos di sana. Nanti akan dikatakan tuduhan mobilisasi, tunjukkan surat undangannya sama tidak dengan NIK. Dengan demikian siapa berteriak akan ketahuan siapa yang bermain. Ingat politikus kita masih belum bisa menahan diri dari sistem membela diri dan sering itu adalah pengakuan.

Jika saja golput kemarin itu karena sebagian besar karena undangan nyasar bukan karena enggan artinya ada 40% suara bulat yang bisa terbagi dalam dua kubu. Cerdik dan cerdas akan membawa menjadi gubernur DKI periode mendatang. Janganlah uang dan kekuatan intimidasi digunakan untuk meraup suara atau kursi.

Parpol bukan satu-satunya indikator berjalannya demokrasi di Indonesia, hal ini nyata dalam peta pemilih yang mencoblos paslon nomor urut satu. Di mana dukungan minimal 20% suara eh malah hanya mendapatkan 17%. Elit bisa saja mengatakan mendukung A atau B namun pemilih dan kader bisa saja memilih C atau Z.  Keberadaan parpol memang tidak menjanjikan karena ulah mereka sendiri yang tidak patut dijadikan tuntunan. Ide deparpolisasi memang jelas dan patut diterapkan karena mereka sendiri yang tidak bisa bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun