Fadli Zon, Perlu Aqua, Ciutan “Babu”
Ramai memang sudah beberapa saat lalu soal ciutan “babu” yang dikatakan oleh pimpinan dewan yang terhormat ini. pimpinan dari partai independen yang masih perlu sekolah kritis lagi agar tidak semata bicara atau nyuit, namun berkontribusi bagi negara ini.
Iklan sebbuah minuman mineral lewat, dan kog pas dengan tema ini, dan ternyata saya juga perlu aqua sehingga tidak salah lagi. Soalnya berkaitan karena adanya zonk, lepas konteks, dan asal nyiut. Sebenarnya yang disampaikan oleh pimpinan dewan ini tidak sepenuhnya salah, hanya soal pilihan kata yang bisa menyinggung dan menyakitkan beberapa pihak. Jika yang nyuit itu bukan pimpinan dewan sebenarnya tidak akan ramai dan berkepanjangan. Belum lagi “dibela” oleh duet mautnya di pimpinan dewan.
Sebelum bicara soal isi cuitan, menarik membahas pembelaan kolega sesama pimpinan korban syahwat politik terlucu di dunia. Mereka berdua bisa bersuara lantang, didengar banyak orang, dan menjadi sorotan hanya karena demokrasi asal-asalan soal paket pimpinan. Meski konstelasi politik telah berubah, secara personal dan bukan kelembagaan ternyata masih sama saja berdiri seolah mereka adalah antitesis pemerintah, toh nyatanya dan faktanya tidak ada oposisi, mereka juga mendukung dengan bulat soal-soal yang memberikan kontribusi buat mereka. Soal demokrasi akal-akalan semata. Ternyata menunggu tidak sampai tiga tahun bagi mereka sudah terasa berat dan sesak.
Cuitan “babu” dan pilihan kata
Menarik apa yang dijawabkan oleh menaker yang memiliki seorang ibu TKI yang menyatakan bangga karena ibunya “babu” namun tidak merugikan orang lain, tidak maling uang rakyat, dan bekerja dengan baik, kira-kira demikian. Artinya apa? Meskipun telah dihapus tulisan tersebut toh, masih ada bekas yang mendalam bagi banyak pihak, belum lagi soal pernyataannya mengenai bayi tidak diinginkan, TKI yang menderita AIDS di suatu negara, dan ternyata tidak ada kebenarannya. Menaker menjawab dengan menyatakan bangga karena tidak merugikan rakyat, selama ini diam saja maraknya maling berdasi termasuk di dewan, soal Patrialis juga diam saja padahal jauh lebih merusak dari pada isu TKA.
Apakah isu TKA sudah benar-benar terjawab bukan soal katanya, atau berita yang asal-asalan, jika benar ada dan itu fakta, buat apa di medsos, sebagai pimpinan jika bukan soal kepopuleran toh bisa dengar pendapat atau memanggil menteri terkait termasuk keamanan negara lho, berjasa tanpa perlu teriak-teriak atas nama kepopuleran. Jauh lebih negarawan daripada sekadar politikus.
Apakah TKA baru era pemerintahan ini saja? Jika benar demikian, mengapa bisa terjadi. Sebenarnya hal ini lagu lama, hanya saja mendapatkan momentum karena kelompok atau barisan sakit hati susah lagi mengeluarkan kejengkelannya, maka membuat ulah seolah ini baru saja ada. Bertahun lalu sudah membaca artikel soal Puncak dan PSK-nya, apa mereka bukan TKA?
Jika benar TKA itu benar melimpah, apakah sudah separah TKI kita yang membanjiri Malaysia? Jika iya, apa coba yang bisa dilakukan DPR dengan segala kekuasaan dan kemampuannya untuk bisa berbuat bagi negara. Jangan lupa DPR juga penyelenggara negara bukan sepihak pemerintah saja. Apakah perundang-undangan yang mereka teken bersama itu sudah berdaya guna dan memberikan kontribusi bagi negara atau hanya hasrat kekuasaan bagi elit dan kelompok?
Kritis dan kritik itu boleh dan harus agar negara dan pemerintahan tidak menjadi otoriter, berlaku sewenang-wenang, dan menjadikan lembaga legeslatif sebagai badan stempel semata, namun tentu yang konstruktif, memberikan solusi bukan semata kepentingan sendiri dan kelompok.
Kritik membangun akan terasa ketika kepopuleran sebagai politikus itu tidak menjadi yang utama, berani tidak berlaku tidak populer denganmembela dan menyuarakan kebenaran dan keadilan. Jika iya, mengapa diam seribu bahasa kasus maling berdasi alias korupsi, terorisme, dan perilaku yang menjerat dewan lainnya. Soal prestasi dewan, absensi dewan yang tidak berubah, dan perilaku dewan yang begitu-begitu saja, seolah tidak terlihat.