Juara dua memang patut mendapat apresiasi bagi tim nas Indonesia dengan berbagai kendala, baru lepas dari sanksi, dan belum bergulirnya liga sangat berpengaruh. Namun hal ini bukan sebagai pembenar untuk puas sebagai juara kedua untuk kesekian kalinya tentunya.
Beberapa hal yang jelas terlihat dalam permainan baik di pertandingan pertama yang menang ataupun kedua yang kalah adalah sebagai berikut;
Satu, bekerja sama. Beberapa kali nampak hanya menunggu dan bahkan melepaskan taggung jawab dengan tanda cepat-cepat mengoper bola ke rekannya, dan kadang posisi temannya tidak baik dan aman. Seharusnya lebih percaya diri untuk menahan bola, memainkan dengan mendrible, tidak langsung oper saja. Penguasaan bola menjadi penting. Hal ini juga berkaaitan dengan kepercayaan diri yang perlu dikembangkan lagi.
Dua, percaya diri. Tidak kalah sebelum bertanding. Sering tampak dengan jelas tim Indonesia keder duluan melihat nama besar lawan. Padahal bisa mengalahkan, bahkan pinalti pun bisa diblok, artinya sikap percaya diri yang masih perlu dipompa lagi dan akhirnya berani untuk bisa bekerja sama dengan rekan.
Tiga, latihan soal peraturan internasional. Sikap mengintimidasi hakim garis dan wasit di liga ataupun pertandingan dalam negeri masih sering terlihat. Artinya mereka belum paham peraturan FIFA. Benar bahwa pemain top duniapun sering protes dan menekan perangkat pertandingan, namun tidak berlebihan. Paling parah soal sliding, tackle, dan sejenisnya antara berbahaya, kasar, dan bersih belum bisa membedakan. Di liga mungkin aman karena wasit takut, namun pertandingan regional bahkan internasional berbeda, bisa sangat fatal dan merugikan tim sendiri.
Empat, perangkat pertandingan dalam negeri juga belajar. Mereka tidak boleh takut intimidasi baik dari pemain ataupun penonton, coba bagaimana biasa wasit dilempari dan dikeroyok ketika menegakan peraturan. Jika pengadil sudah baik, penonton pun akan ikut menjadi tertib. Peraturan FIFA bukan peraturan pemain apalagi penonton yang hanya ingin tim yang didukung harus menang.
Lima, pergerakan tanpa bola. Selama ini kecenderungan menunggu termasuk kala rekannya kesulitan dan bingung mau mengoper ke mana. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan diri dan kerja sama.
Enam, kesempatan untuk kebiasaan pahlawan kesiangan yang merasa ikut bekerja keras, berjuang, padahal sama sekali tidak ada kontribusi selain ngikut tenar dan berjaya saja. Ingat peristiwa U-19 lampau. Bagaimana mereka hancur lebur tanpa ada bekasnya, padahal betapa baik dan membanggakannya.
Tujuh, lepaskan kepentingan dari timnas. Baik itu soal SARA, politik, ataupun bisnis selama ini yang terjadi. Timnas dijadikan sapi perahan oleh berbagai pihak. Pertandingan bisa dijual demi iklan, kepentingan, dan sejenisnya.
Saatnya berkembang dan bergerak maju bukan hanya mau enaknya tanpa proses panjang dan kerja keras. Semua bisa dan ada potensi itu.
Jayalah Indonesia!