Antasari Azhar, Dilema antara Kawan atau Keikhlasan, Pembelajaran bagi SBY
Bebas bersyarat Antasari Azhar mempertontonkan bagaimana rupa hukum bangsa ini, ketika keluarga korban malah memberikan dukungan luar biasa kepada “pelaku. Apa yang ditampilkan bahwa ada sesuatu yang tidak kasat mata, namun sangat terasa itu memberikan tanya dan teka teki.
Saat wawancara di sebuah acara televisi, Pak Antasari menjawab tanya host apa yang paling berat, ia menyatakan kala anak resepsi tidak bisa hadir. Kala angin kuasa berubah, pernikahan puteri kedua, ia bisa ikut serta dalam resepsi pernikahan puterinya. Dari sini sudah terlihat bahwa ada sesuatu di sana, paling jawaban normatif bukan soal rezim, namun karena sudah di penjara lebih lama.
Ketika mau pulang dan mengadakan konferensi pres, ia menyatakan, kebencian, kemarahan, dan dendam sudah ditinggalkan di dalam rutan, dan pulang dengan damai, ikhlas, dan hukuman bagi pihak yang “membuatnya” masuk penjara biar menjadi tugas Allah. Tentu hal sedikit melegakan bagi pihak yang tersangkut di sana, namun tidak dengan keluarga korban.
Jiwa dan hati yang iklas ini tentu tidak dengan begitu saja disikapi yang sama oleh keluarga korban. Bisa dimengerti bagaimana keluarga mau tahu dengan baik siapa pelaku utamanya, mengapa keluarganya yang menjadi target atau korban, dan banyak tanya yang lain. Sangat manusiawi dan bisa dimengerti sebagaimana keluarga almarhum Munir tentunya.
Mengapa menyebut Pak Beye? Melihat ada perbedaan sikap ketika izin keluar pesta pernikahan puterinya, tentu tidak berlebihan ketika ada kecurigaan, ingat indikasi kecurigaan, ke sana, kan sekelas presiden yang bisa memberi izin atau menolak, meskipun secara birokrasi bisa saja tidak sampai setinggi itu juga, untuk tahanan selevel itu.
Jika mengikuti alur pikir ini, bisa menjawab mengapa Agus ditarik dari dinas milter demi gubernur yang susah didaapat pula. Inipun perlu prasyarat bahwa jika benar ada keterlibatan, akhirnya bisa dimengerti kalau karir puteranya juga jangan-jangan terpengaruh karena bukan bapak yang ada di atas, padahal banyak orang biasa yang anaknya jadi jenderal dan menjadi tampuk pimpinan negara.
Sisi yang berbeda mengajari Pak Beye untuk ikhlas kalau memang sudah bukan lagi presiden aktif yang tinggal duduk saja, tidak perlu ngrecoki pemerintah, kalau menyentil dan menjewer boleh dan harus namun bukan malah mengganggu dan membanding-bandingkan. Iklas itu menerima bahkan yang bukan dilakukan lho.
Apakah ada kaitan dengan “kemarahan” yang berlebihan sebelum demo itu? Bisa saja iya, namayan bawah sadar, yang seolah itu kata orang, padahal pikiran sendiri yang saking kuatnya, jadi seolah ada tuduhan-tuduhan untuk ini itu. Padahal sebelum itu sama sekali kog tidak ada indikasi mengarah ke sana. Ada dua pikiran besar yang bisa saja sangat mengganggu Pak Beye selama ini. Pertama soal hilangnya data TPF, kan jelas beliau yang menerima dan menyimpan kog, malah mengatakan ada yang menuduh ikut konspirasi pembunuhan, bukan ke sana, mana file itu, tidak sejauh presiden SBY ikut pembunuhan. Terlalu jauh reaksinya.
Kedua, soal habisnya masa penahaman Antasari. Melihat bahwa Pak Antasari ingat pun tidak kepada Pak Beye, apalagi mengundang ke pesta dan syukuran, aada indikasi bahwa ada sesuatu, mosok dengan presiden yang melantik tidak ingat?? Yang bener saja?? Kog Pak JK ingat? Apa benar bahwa ini juga menjadi pemikiran beliau sehingga berujung kepada pelaporan presiden ke bareskrim?
Namanya analisis bisa salah bisa juga benar, namun melihat rekam jejak, dan fakta-fakta yang ada, tidak bisa dinafikan begitu saja bukan?