Usai demo 4 November, sebagai ucapan terimakasih pemerintah mengadakan pertemuan dengan petugas keamanan. Suatu hal yang tidak biasa adalah, pemimpin upacara itu panglima TNI. Upacara kenegaraan Kemerdekaan 17 Agustus itu setingkat letnan kolonel atau kolonel, AKBP, atau kombes, kali ini bintang empat dan panglima, bukan saja kastaf.
Beberapa jebakan yang coba dilakukan dan bisa diantisipasi dengan baik:
Pertama, memaksa presiden untuk menemui demonstran, hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah kalau itu memang agenda demo tanpa tunggangan. Ketika ada penunggang, presiden ada pada posisi sulit, karena jika menerima, bisa saja diartikan bahwa presiden bisa ditekan oleh kelompok. Jangan kaget kalau nanti akan selalu menggunakan pola yang sama. Ada masalah menggerakkan massa dan presiden harus menerima mereka, agar adil terhadap rakyat. Ini hal yang lucu saja, ketika ada komentar wong anggota K saja diundang makan siang, kog ini yang lebih banyak malah ditinggal. Bicara konteks tent berbeda. Artinya jebakan pertama gagal, tidak heran kemudian ada yang teriak dengan lantang mengatakan karena presiden tidak mau menemui, maka ricuh. Mengapa tidak dibalik?? Karena penanggung jawab tidak bisa melakukan kendali dengan baik akhirnya ada kericuhan? Apa artinya, ini soal politis bukan semata damai dengan tema yang berbeda jauh.
Kedua, pendudukan gedung dewan. Ide ‘98 mau diulangi. Ternyata sudah terbaca dengan baik, ide lain yang dikemas dengan istilah kemanusiaan, untuk menginap. Jenderal bintang dua saja bisa menghentikan tuan rumah di sini dua FF dan satu pimpinan MPR, apakah mereka lugu dan tulus soal kemanusiaan? Tentu bisa dibaca rekam jejaknya selama ini. Apalagi ada pemberitaan dalam salah satu teks berjalan televisi, anggota dewan memberikan uang saku pendemo. Lha katanya demo Jakarta, eh ternyata luar Jakarta yang perlu diberi uang saku. Dalih gampang yang pasti akan dikatakan adalah kemanusiaan, kehilangan waktu kerja, dan sejenisnya. Abai soal esensi apa mereka hilang kesempatan kerjanya.
Ketiga, soal konpres presiden yang menengarai ada agenda politik yang menunggangi demo yang damai itu. Mengapa hanya Demokrat yang berteriak-teriak, dari Syarif H hingga Ibas yang tidak bisa omong bisa jadi omong. Apa jebakannya? Mau membenturkan presiden kalau mengatakan nama atau lembaga, akan dinyatakan presiden berbuat melanggar hukum karena menuduh tanpa bukti. Presiden tidak perlu menjawab, biar itu urusan kepolisian untuk membuktikan kalau memang hendak negara ini menjadi negara besar, negara hukum, bukan semata kekuatan dan tekanan bahkan preman pun bisa menekan negara.
Apakah benar ada yang menunggangi? Gampang saja, sepele, mengapa ada orang-orang politik di sana, padahal lebih ironis mereka itu anggota dewan di mana mereka itu pelaku dan pengawal aspirasi masyarakat, mencegah demo dengan lebih memilih parlemen, eh malah mengikuti demokrasi jalanan, atau mereka memang hanya mampu melakukan parlemen jalanan dan bukan demokrasi esensial di gedung dewan? Apa ide awal mereka bergerak? Ahok bukan? Ke mana arah mereka? Apa politikus Demokrat pura-pura atau memang maaf bloon?
Jebakan Demokrat yang mengatakan hingga lebaran kuda tetap akan ada demo ternyata membawa petaka bagi mereka sendiri. Kecurigaan bahwa mereka seperti menggunakan logika pertahanan terbaik adalah enyerang. Ketika parpol lain diam saja, mereka sendiri yang bereaksi, maka bisa lahir kecurigaan soal induk ayam bertelor. Jika presiden salah bersikap mereka akan menggunakannya untuk menjadikan alasan berikutnya.
Mengapa usai ada keinginan pelaporan proyek mangkrak baru bereaksi? Dan tanggapan pun belepotan seperti kalimat Agus Hermanto, yang tidak menjawab mengapa mangkrak. Selengkapnya bisa diakses di sini, Agus Hermanto Ungkap Penyebab Mangkraknya Proyek Pembangkit Listrik. Di sana tidak berbicara soal penanggung jawab dan tuntutan atas wan prestasi atas kinerja. Jika mengatakan ketidaksiapan pemenang tender, enak saja mengambil uang dari negara dan kemudian tidak dilakukan dan bebas begitu saja. Sebenarnya hal ini bukan barang baru, bagaimana uang negara terhambur-hamburkan dengan anggaran ganda, tidak dibangun, pembangunan kualitas rendah bisa lolos.
Sebenarnya tidak perlu berlebihan demikian Demokrat menghadapinya, jika berpikir bagi kemajuan bagi bangsa dan negara. Melihat kinerjanya, cara menyikapi persoalan, dan memberikan respon atas peristiwa nampak bahwa Demokrat orientasinya masih sektarian diri sendiri.
Jebakan tidak berjalan karena mereka yang berkepentingan lupa bahwa ada Kekuatan Lain yang membantu memberikan inspirasi pada BIN, TNI, dan Polri untuk memilih dengan bijak dan tepat dalam menyikapi banyaknya “ketulusan” kamuflase. Mana kambing, mana domba bisa terlacak dengan baik.
Saatnya berubah dan bebenah memikirkan yang esensial dan bukan hanya yang permukaan, kalau bahasa Pak Beye, banyak melakukan yang tidak mendasar dan menyelesaikan masalah, ternyata hanya mau mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Nasihat baik dan itu tepat guna, untuk diri sendiri.