Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pelaporan Haris Azhar, antara Harapan dan Matinya Perbaikan

4 Agustus 2016   07:37 Diperbarui: 4 Agustus 2016   10:33 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TNI, Polri, dan BNN mengambil sikap melaporkan Ketua Kontras Haris A ke Bareskrim Polri. Alibi yang dipakai adalah untuk penegakan dan kejelasan status meskipun terbaca dengan gamblang akan bermuara pada pencemaran nama baik dan lebih fatal tidak ada bukti yang menunjukkan aliran dana dari mendiang Freedy ke ketiga lembaga itu. Kasus usai dan Haris menjadi terpidana buruknya, atau tidak dilanjutkan karena berbagai alasan.

Sepakat jika memang kehendaknya adalah untuk memberikan status hukum agar jelas apa yang dikatakan itu bukan fitnah, tuduhan tidak berdasar, dan perbuatan tidak menyenangkan atas lembaga negara. Namun apa iya, harus seekstrem itu. Haris A ini ketua lembaga yang cukup besar, memiliki jejaring yang kuat, dan tentu tidak sembarangan apa yang menjadi “benteng” bagi dia saja bisa “dikalahkan” dengan “intimidasi” demikian. Bagaimana di daerah, orang biasa yang setiap saat bisa saja menemui arogansi kaum berseragam seperti ini.

Kasus sangat kecil, di jalur ring road Madiun ada sebuah jembatan layang perlintasan kereta api, entah mengapa jalan layang ini menimbulkan goncangan yang sangat keras bagi penumpang di jok paling belakang. Suatu hari ada aparat berseragam sedang sare dan terguncang, tanpa ba bi bu, langsung saja sopir ditonjok. Hal ini bukan lagi rahasia umum, hampir semua orang pernah menyaksikan, mengalami, dan semua seolah benar dan tidak masalah. Ingat abdi negara abdi masyarakat, bukan kemudian malah melakukan kekerasan dengan seragam yang dibayar dengan uang rakyat. Kasus yang identik juga pernah saya kisahkan, dan ada foto arogansinya seorang penegak hukum lain.

Sepakat bahwa berita, cerita, dan apa pun itu harus menjadi fakta, namun bukan berarti kemudian “pelapor” ini harus memberikan bukti sedetail mungkin. Mana bisa ketika keadaan itu mendesak, spontan, dan ada kekuasaan yang jauh lebih besar di sana. Petunjuk itu harusnya ditanggapi dengan proaktif, bukan reaktif. Bangsa ini sudah over reaktif sehingga tidak pernah menyelesaikan persoalan. Proaktif berarti petunjuk itu diterima dengan pemikiran terbuka, praduga tak bersalah dan praduga bersalah secara seimbang. Pelapor disikapi dengan obyektif dan yang dikatakan terindikasi itu pun memiliki posisi yang masih netral bukan membela kolega dengan memojokkan yang mengatakan.

Kerendahan hati dan sikap membela korp tidak bak babi buta. Korp selalu benar, itu baik dan tepat, namun pembangun korp yaitu personalnya belum tentu benar. Ini yang harus diluruskan dan dipahami dengan lebih baik. Jangan heran kalau selalu keluar korps kami tidak mungkin bla... bla... bla...tidak heran juga selalu terjadi perkelahian antarkesatuan, antarinstitusi, karena pemahaman seperti ini. Sikap kerendahan hati berarti bahwa yang dikatakan itu orang bukan lembaga, jika demikian, bukan seluruh organisasi itu marah dan melakukan pelaporan dan kekerasan. Bagaimana tidak kalau ada orang berseragam loreng hijau tidak dikatakan TNI-AD, mau tidak mau karena tidak tahu nama, kesatuanlah yang dikatakan. Bukan TNI-AD yang dicemarkan, anggotanya yang mencemarkan kesatuannya.

Apakah akan selalu begini “pelapor” malah menjadi terlapor dan tidak ada ujung pangkalnya dan yang “kuat” malah menang bukan yang benar. Jangan heran kalau hukum itu akan jadi hukum rimba siapa kuat dia yang menang. Apakah akan terus begini? Politisasi papa minta saham jangan hinggap di sini. Rekaman Anggodo kala itu juga jangan terulang di sini.

Apakah pernyataan mendiang Fredy itu berlebihan? Bisa iya, bisa pula tidak. Ketika kesaksian, desas-desus itu dipakai untuk perbaikan bukan malah membungkam kebenaran yang mau ditutup. Era reformasi sudah lebih dari 21 tahun, kemerdekaan menjelang 71 tahun, pola pikir masih gaya penjajah.

Praduga tak bersalah terapkan dulu pada “pengadu”, bukan sebaliknya. Paradigma ini akan membantu banyak bagi sehatnya bangsa. Selama ini pencemaran nama baik, penghujatan agama selalu karena alasan “pelapor” yang lemah di hadapan yang dilaporkan. Karena kuasa, entah uang, entah jabatan, atau yang besar di masyarakat berkaitan dengan agama, bisa dengan leluasa malah menjebloskan ke penjara yang melaporkan, kadang adalah korban. Pasal pencemaran nama baik perlu direvisi, bila tidak terbukti baru laporan itu ditindaklanjuti, bukan malah ditindaklanjuti dulu dan yang dilaporkan bisa bergembira.

Praduga bersalah bagi terlapor. Ingat ini pembuktian ada fitnah dulu baru dilanjutkan, jadi jika memang terlapor itu bersalah, si pelapor tetap aman dan benar. Artinya tidak semena-mena dan juga tidak ada fitnah, jika ini terjadi, kekuasaan tidak arogan, rakyat yang melapor juga terlindungi, termasuk di sini adalah maling alias korupsi, takut melapor daripada dibalik menjadi tersiksa, ini bukan salah ketik, tersiksa.

Sepakat bahwa desas-desus tidak harus menjadi bahan penyelidikan, jika demikian habislah anggaran, waktu, dan tenaga, namun tentu petinggi negeri ini semua tahu kog, siapa yang bermain, baik Petral, FPI, baik yang di Papua ataupun suka kekerasan di mana-mana itu, namun karena ada ”kekuatan” besar yang melindungi selalu saja berbalik arah. Herannya ini Indonesia, malah bumerang menjadi andalan. Di mana-mana bumerang menusuk diri sendiri. Kasus Almarhum Munir tidak akan terjadi, namun model yang identik sedang dilakukan.

Gaya hidup yang ada perlu menjadi batu loncatan untuk menyelidiki kasus ini. Jangan dulu resisten dan malah menjadi jauh lebih berbahaya bagi kehidupan berbangsa. Setuju bahwa dulu pas masuk, birokrasi naik pangkat itu perlu dana, namun apakah ini akan terus terjadi dan ribuan kali soal pembuktian terbalik saya tulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun