Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kriminalisasi Guru dan Tugas Berat Mendidik

2 Juli 2016   06:16 Diperbarui: 2 Juli 2016   08:29 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kriminalisasi Guru dan Tugas Berat Mendidik

Beberapa guru diajukan ke meja hijau dengan berbagai perilaku guru, namun apakah sebanding dengan apa yang guru lakukan? Artikel ini akan saya sajikan dengan beberapa kisah “hukuman” dan nilai yang bisa saya tanamkan dan petik.

Pertama.Pengalaman pribadi, pas menghadapi guru tersebut, jam sebelumnya pasti izin ke kamar kecil dulu. Dua jam pelajaran lamanya minta ampun. Beliau almarhum guru ini tukang hukum, tulisan tidak rapi diminta menulis satu lembar per pertemuan kemudian dimintakan penilaian. Apalagi salah di dalam menyelesaikan soal, siap-siap nulis 100 kali, zaman angkatan jauh di atas, bisa berlipat-lipat kali. Nilai yang saya petik ialah, kedisiplinan, hati-hati tidak grusa-grusu, perhatian, dan cermat. Hingga hari ini saya menyukai apa yang beliau ajarkan, pas diajar ya mules dan malas.

Kedua. Saya meskipun cuma seumur jagung menjadi guru, namun soal menghukum sangat kenyang, pengalaman (1) menggampar anak yang salto di depan saya. Ngeri kalau dia patah tangan, saya pasti masuk penjara. Merah di pipinya masih, sudah menempel di badan sambil cengengesan.  (2) Berkali-kali, puluhan malah mencubit pinggang anak yang bajunya tidak dimasukan, biru, besar, dan sakit-panas tentunya. Pasti esok harinya lapor, “Pak biru nih,” jawaban saya singkat,” Mau lagi?. (3) Ada  peraturan dilarang mengaktifkan smartphone, eh malah main pas pelajaran saya sita. Bapaknya datang mohon kebijaksanaan, saya jawab, “Bapak saya ini bijaksana karena mendidik puteri Bapak.” Bapak itu pulang dan anak ini malah akrab dengan saya. (4) Anak rambutnya dicat, langsung jitakan mendarat mulus di kepalanya dan anak ini langsung mencari gunting dan mengangsurkan kepalanya untuk saya potong rambutnya.

Ketiga,pengalaman rekan guru, baru lulus dari kota kecil ke kota besar, wajar kalau “takut” dengan anak. Karena saya satu mess dengannya, setiap saat saya jadi “mentor” untuknya. Ada siswi yang “badung” minta ampun. Rekan guru ini jengkel minta ampun. Suatu hari rekan ini menghukum berdiri di depan kelas karena pindah kelas ketika pelajaran berlangsung. Dia lapor bapaknya dan paginya langsung si bapak menuntut rekan guru ini untuk minta maaf kalau tidak akan dilaprokan ke komnas HAM. Saya “tantang” siswi ini dengan saya usir dari kelas saya hingga satu bulan (empat) pertemuan setiap kali masuk kelas saya. Eh tidak ada pelaporan yang menuntut saya, hanya bergosip saya guru tua bangka, banyak aturan, dan pemarah. Malah dia yang dibully teman-temannya.

Beberapa pengalaman itu, ada hal-hal yang bisa saya katakan:

Satu. UU soal dilarang mendidik dengan kekerasan itu produk dewan yang kita ketahui kualitasnya. Gak kaget. Yang dilibatkan bukan guru namun dosen yang berbeda dinamikanya. Guru dan dosen berbeda yang dihadapi, sekolah dasar dan menengah pertama saja sudah jauh berbeda dengan menengah atas kog, apalagi mahasiswa.

Dua. Sepakat bahwa mendidik tidak patut dengan kekerasan, namun jika kita kembalikan ke keluarga, apakah tidak ada bapak atau ibu yang tidak nyubit, njewer, atau gampar pantat anaknya? Ini anak sendiri lho, apalagi anak orang lain yang nakal dan bandel lagi. Bukan mau membela perilaku buruk guru,  namun ada keadilan dan keseimbangan bersikap.

Ketiga. Polisi, jaksa, komnas HAM, komnas Anak, dan LSM lebih bijak dan tidak semudah selama ini di dalam menerima laporan orang tua murid. Perlu digali lagi bagaimana sikap orang tua tersebut di rumah. Pengalaman saya orang tua yang menpor, mental pelapor ini juga orang tua yang tidak bertanggung jawab namun akting dan ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan. Sikap ngeles akan tanggung jawab dan menjual derita dengan mengorbankan orang lain

Tiga,kepala sekolah, atau yayasan jangan malah cenderung membela murid dan menohok guru di pojokan sendirian. Apalagi kalau hanya cubitan, jeweran, jika sudah patah kaki dan lebih sekali, ini sudah kejahatan bukan rupa bentuk kekilafan.

Empat,sikap kasih sayang yang bisa dirasakan anak. Menjembatani anak menjadi respek dan menaruh hormat, mau digampar pun akan diam dan tidak lapor. Saya mengalami sendiri. Sarana ini bisa berbagai cara menjalin, misalnya main sepak bola, basket, futsal,atau hobi bersama siswa. Siswa kalau sudah akrab mau diapakan juga diam dan santai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun