"Pas Makan Dibaptis Gimana?"
Ada sebuah komentar demikian di dalam salah satu artikel mengenai buber di Gereja Katolik Ungaran. Saya menilai komentar ini hanyalah becanda. Namun ada hal yang perlu saya sampaikan sebagai orang Katolik. Baptis merupakan sebuah bukti sah menjadi Katolik, apa bisa sesederhana itu? Apalagi makan dibaptis apa sudah pasti jadi Katolik? Jelas tidak mungkin, karena persiapan panjang, ada ujian, dan prosedur pelaksanaan tidak sesederhana itu. Mosok makan dan diguyur  air langsung jadi Katolik.
Orang Katolik itu terikat hukum Gereja yang dikenal dengan hukum kanonik. Kitab Hukum Kanonik mengikat seluruh umat Katolik di dunia. Mau di Suriname, mau di Indonesia, mau di Vatikan KHK itu semua sama. Sebagai warga negara Indonesia tentu juga terikat dengan hukum positif bangsa ini sebagaimana di atur di KUHP baik pidana ataupun perdata. Contoh jika bercerai di Indonesia sebagai orang Katolik akan dilakukan di pengadilan negeri dan bisa, sah secara hukum negara, namun sebagai warga Gereja tidak ada yang bisa menceraikan. Jelas bahwa hukumnya saja tidak sesederhana yang dinilai dari kacamata luar. Apalagi untuk menjadi anggota.
Sederhanannya, baptis itu perlu minimal setahun dengan adanya pelajaran baptis. Iya pelajaran sekian pertemuan, ada tatap muka dengan guru atau pembimbing, sekian kali tatap muka tidak hadir, jangan harap bisa ujian, benar ujian. Lihat hanya tatap muka saja sudah menentukan bisa ujian  atau tidak. Ujian ini juga bukan formalitas, bagaimana pemahaman secara kognisi atau pengetahuan saja benar-benar diujikan. Ketika pemahaman yang diharapakan belum pantas jangan harap bisa lulus. Seperti sekolah itu, kalau memang tidak lulus jangan harap ada kolusi seperti di sekolah. Mengulang lagi.
Syarat yang harus dipenuhi itu tidak semudah orang menilai. Ujian itu salah satu, belum lagi syarat materi, yaitu simbol-simbool yang diperlukan seperti air tercurah di kepala sebagai pengganti menenggelamkan, lilin menyala, kain putih, apa itu ada kalau makan dalam acara buber?
Syarat forma atau dalam bahasa mudahnya kata-kata yang harus dijawab dengan mantab, apa bisa orang makan ditanya dan menjawab. Jawaban ini mutlak harus dikatakan, coba mana mungkin orang makan menjawab dengan sadar. Ingat sadar, beda dengan orang mau meninggal ini beda dan tidak sembarangan.
Ada wali yang bertanggung jawab. Wali ini mendampingi perkembangan iman, menegur jika lalai, dan bisa menjadi guru bagi si baptis. Siapa yang mau jadi wali, dengan sekian banyak orang. Jadi sangat tidak mungkin makan-makan ada pembaptisan.
Baptisan Katolik itu satu per satu, personal, dan tidak bisa misalnya diguyur pakai selang Pemadam Kebakaran karena ada 200 orang. Tidak bisa, satu persatu dengan syarat-syarat di atas. Bisa dibayangkan bukan tidak sederhana dan semudah itu mengadakan pembaptisan Katolik.
Memang beberapa  Gereja mengambil ide Gereja Purba pembaptisan itu sesegera mungkin dengan langsung menenggelamkan di kolam, sungai, atau air yang ada. Namun tetap ada permintaan secara sadar, bukan soal begitu saja, semena-mena menguyur dan sah jadi anggota. Tidak. Ada proses yang tidak mudah. Mengapa demikian? Gereja Katolik berharap kualitas bukan semata kuantitas. Tidak berharap bisa berganti-ganti seperti baju saja. Dapat pasangan agama A ikut, B ganti lagi, dan bukan itu tujuan baptis Gereja Katolik.
Tempat, ini menurut hukum Gereja adalah Gereja, padahal bukber ada di halaman Gereja. di dalam gedung gereja tidak boleh ada kegiatan makan dan minum, kecuali dalam keadaan darurat bisa di mana saja, apa artinya? Bahwa tempat tidak memenuhi syarat untuk pembaptisan.
Waktu, idealnya hari Minggu atau Malam Paskah, semua tidak terpenuhi bukan? Meskipun tidak harus, namun Gereja Katolik  sangat teliti mengenai administrasi.