Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saktinya Royani Hingga La Nyalla Matalitti atau Melempemnya Penegak Hukum?

28 Mei 2016   06:58 Diperbarui: 28 Mei 2016   07:46 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan signifikan yang dicanangkan pemerintah, suka atau tidak masih jauh dari harapan. Sikap penolakan dari elit hingga menengah terutama birokrasi dan dewan masih begitu kuat. Kebiasaan seenaknya sendiri, leluasa maling, dan bekerja sesuai prosedur minimalis yang sering kebobolan tanpa malu itu masih lebih dominan. Ini sama saja gebderang ditabuh, penari enggan karena beda gaya dan merugikan mereka, maka mereka mencari-cari genderang lain. KPK hampir setiap saat diberitakan tangkap tangan, hukuman masih rendah, mana ada permohonan maaf, pengakuan saja nihil. Maling dari tingkatan tertinggi hingga paling bawah masih saja bergembira. Sekelas sopir saja bisa menghilang, apalagi sekaliber La Nyalla yang telah memiliki jaringan kelas atas dan jauh lebih memiliki “kuasa.”

Royani sang sopir kaya hingga La Nyala, presiden federasi sepak bola yang tidak kenal jiwa sportif.Sopir yang satu ini ternyata cukup spesial. Bagaimana tidak, ketika rumahnya termasuk kawasan mahal, harta kekayaan yang jauh melebihi profil seorang sopir, PNS di sebuah lembaga negara, dan bisa menghiang begitu saja. Ternyata pola yang identik di pakai petinggi negeri ini, karena mereka sudah dimonitor baik hapenya, rekeningnya, apalagi fisiknya, mereka menggunakan jasa orang yang paling dekat, yaitu sopir. Dulu, ketua MK yang dari hakim jadi pesakitan, Akil M juga menggunakan sopir tajirnya. Sopir yang bisa pamer sedang di Eropa, di Belanda, dan sebagainya. Ternyata kali ini juga pola yang sama. Bagaimana gaya hidup mewah yang bertolakbelakang dengan profil saja bisa pede dan bangga, mau memberantas korupsi? Jika memang keluarga kaya, jadi dapat hibah atau warisan yang bejibun, maaf mengapa menjadi sopir? (ingat bukan merendahkan profesi sopir lho?). Sekian lama menghilang, sekelas KPK, ketua MA, pun tidak bisa mendeteksi keberadaannya? Sakti amat ya? Apalagi sekaliber La Nyala, yang kaya, pengusaha, dan banyak kolega, jauh lebih sulit tentunya.

Melarikan diri ke Malaysia dan kemudian ke Singapura, padahal jelas-jelas tidak salah. Tiga kali pra peradilan menang, bisa disimpulkan dengan serampangan bahwa kejaksaan kesulitan membuktikan ia salah. PSSI yang semua orang paham, ada beraneka kelucuan dan kebodohan pun bisa ia sulap seolah tidak ada  masalah, bahkan FIFA dan menpora saja bisa “dikendalikan” dan menang. Menghilang bukan perkara sulit tentunya. Uang tak berseri, kuasa ada, kolega melimpah, tidak ada penghalang untuk hidup di mana ia mau. Tentu masih ingat bagaiamana Nunun juga lama sekali baru bisa ditangkap, tidak ada perubahan bukan?

Sinergi kerja antarlembaga belum tercipta.“Persaingan dan rivalitas” lebih kerasa, belum lagi cinta dan bangga korps yang berlebihan masih kuat. Apa perlu bantuan Pak Denny Indrayana yang bim salabim ala Pak Tarno, Gayus yang dikejar langsung nongol, di restoran yang sama?  Kelihatannya dibutuhkan orang macam Pak Deny yang penuhh dengan naungan dewi fortuna hingga bisa menangkap buronan licin dengan demikian sangat mudah, sepele malah. Dua orang “buron” luar biasa ini  mengapa begitu sulit. Pasti ada pelindungnya. Bagaimana seorang “sopir” bisa mengelabui intelijen KPK, MA, dan apa juga lembaga lain tidak mau membantu, atau malah mana duli, emang gua pikirin? Wah kalau demikian, celakalah negara ini, karena hanya mengandalkan beberapa pejabat dan rakyat yang berpikiran positif? Sedang mayoritas elit dan pejabat lainnya masa bodoh. Ketangkap apes dan jangan bawa-bawa aku, soal lain aman.

Bagaimana mau minta keterangan Riza Chalid yang jelas jauh di atas kelasnya dibanding mereka berdua? Dengan sekelas ini saja keok kog. Bagaimana kinerja BIN yang “sukses” menangkap buronan kakap, apakah tidak bisa membantu mencari teri dan bawal ini? Jangan-jangan birokrasi lagi yang jadi penghalang? Birokrasi memang dibuat ruwet, susah, dan bebelit jika menuju pada pusat kekuasaan, birokrasi dan bisa dengan mudah, bahkan tidak ada jika berkaitan dengan rakyat biasa tanpa embel-embel apapun.

Kasihan keluarga Royani, pasti di antara ketidakberdayaan yang membuatnya harus makan uang tidak sah. Hidup bergelimang harta namun dijadikan kambing hitam dan “dihilangkan” oleh pihak tertentu. Apakah mereka sekarang bahagia? Jelas saja tidak. Apakah orang pinter itu harus minteri dan menggunakan ketidakberdayaan saudaranya? Ini bukan kasus pertama lho, ingat kasus anak mantan menkop lampau, seorang OB dijadikan pemilik perusahaan yang harus mendekam di penjara. Apakah kali ini juga demikian lagi?

Saatnya kerjasama dan membangun kinerja lintaslembaga dan sinergi antarlembaga demi bangsa dan negara. Ini negara sendiri, bukan negara jajahan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun