Kasus paling aneh dan ajaib dan itu fakta di peradilan Indonesia. Entah siapa yang salah dan siapa yang benar antara ketiga pelaku ini, La Nyala, kejaksaan, dan pengadilan. Ketiganya menghasilkan kelucuan dan keanehan hukum di Indonesia ini, bagaimana bisa terjadi, berulang, dan entah apa akhirnya nanti.
Kasus yang membuat La Nyala memilih menjadi pengungsi di Singapura telah terjadi sekian lama. Kejaksaan menetapkan status tersangka untuk pertama kalinya pada pertengahan Maret. Lebih dua bulan telah tarik ulur dengan maju mundur di pengadilan dengan pra peradilan. Hari ini, telah tiga kali pra peradilan dan semuanya dimenangkan oleh La Nyalla dengan demikian status tersangkanya gugur dan menjadi orang bebas. Lucu lagi kejaksaan langsung menyatakan mengeluarkan sprindik yang menyatakan status tersangka baru bagi La Nyalla.
La Nyalla. Â
Orang yang fenomenal, selain sebagai tersangka dalam kasus korupsi, dia ini juga presiden PSSI. Tidak kalah lucunya dengan perseteruannya dengan menpora yang juga tarik ulur maju mundur di pengadilan soal gugat-gugatan mengenai pembekuan, namun bukan ranah presiden PSSI yang mnejadi fokus kupasan. Bagaimana ia yang merasa benar, bersih, dan tidak merasa bersalah.Â
Orang yang tidak bersalah mengapa harus melarikan diri? Tentunya menarik ketika ada orang yang tidak bersalah malah menyembunyikan diri di luar negeri. Sekarang sebenarnya malah tersangkut masalah tinggal di luar negeri gelap karena pasportnya telah dicabut. Soal maling yang telah dibatalkan sebanyak tiga kali, namun terjerat menjadi pendatang gelap. Jelas saja mengapa melarikan diri kalau benar. Pihak kejagung juga menyinyalir bahwa ada kurir yang mengantar uang.Â
Lucu lagi bukan kalau tidak salah mengapa harus minta diantar uang, ambil saja sendiri. Bisa saja dalih peradilan di Indonesia tidak bisa dipercaya. Bagaimana seorang yang berkecimpung di dalam olah raga namun tidak memiliki jiwa sportif? Lha nyatanya telah tiga kali pra peradilan dan dia menang terus kog. Kalau tidak salah mengapa lari dan bersembunyi?
Kejaksaan.Pihak ini juga lucu, bagaimana harus maju mundur dan kekalahan demi kekalahan yang diperoleh, coba yang beginian ini PSSI menang terus, eh malah kalah terus sebagaimana PSSI. Apa mereka tidak serius atau hanya main-main? Mosok tiga kali kalah dan masih mau maju lagi? Apa tidak akan menjadi hambatan bagi kinerja pada kasus lainnya? Jika memang tidak ada bukti mengapa bisa menetapkan jadi tersangka, jika memang ada bukti mengapa bisa dimentahkan pengadilan? Hanya membuat kelucuan saja kalau demikian. mereka akan terus menetapkan La Nyala sebagai tersangka, ini kan lucu ketika dibatalkan terus oleh pengadilan?
Pengadilan.
Hebat banget orang yang bersih ini bisa melenggang dengan hattrik di pengadilan dengan memecundangi kejaksaan  yang dalam tinju sudah KO karena jatuh terkapar tiga kali. Apa iya kalau memang kejaksaan itu sewenang-wenang mengapa bisa menersangkakan hingga tiga kali. Kehendak baik hakim bisa memaksa yang menuntut pra peradilan untuk pulang. Dengan demikian tidak akan ada pekerjaan olok-olok dengan pra peradilan demi pra peradilan yang ujung-ujungnya kejaksaan memajukan dan penggadilan mengetok mereka salah. Mau berapa kali, apa kolega mereka para jaksa itu sebodoh itu?
Kejaksaan Agung, KY, KPK, dan lembaga yang terkait kelihatannya perlu turun tangan untuk melihat masalahnya ada di mana. Kasus ini harus selesai, kalau memang maling, tangkap La Nyalla bukan hanya katanya-katanya namun tidak ada hasil selain peradilan dagelan yang disajikan. Apalagi kentut mafia hukum belum juga bisa dibuktikan tidak ada, malah justru semakin menguar dengan bebas.Â
Aroma busuk makin kuat namun masih saja selalu merasa bersih dan tidak ada masalah. Kehendak baik untuk  menjadikan peradilan yang bersih, transparan, dan kredibel sama sekali belum ada. Bagaimana selama ini belum ada yang mengatakan dengan tegas, jelas, lugas, dan mengutuk perilaku korup di peradilan, baik dari pengacara, para jaksa, dan juga hakimnya.
Mengapa bisa segelap ini peradilan kita?
Pendidikan mahal sehingga hanya orang kaya namun tidak memiliki nurani dan idealisme yang mampu kuliah dan memiliki ijazah. Ini bukan rahasia umum lagi, kalau memang demikian adanya. Tidak heran kalau pejabat dan pelaku peradilan diisi calo, mafia, dan pelaku pencari uang saja bukan menegakkan keadilan. Apa yang bisa dilakukan? Negara menjamin pendidikan yang terjangkau, pendidikan mahal bisa diatasi dengan beasiswa.
Mentalitas maling dan tidak tahu malu.
Sudah tahu kalau pejabat dan pelaku penegakan hukum, eh dihukum maish saja cengengesan dan tidak tahu malu. Apa yang bisa dilakukan, terapkan hukuman berat dan tambahan bagi para pelaku maling peradilan. Pengawasan melekat dan independen sehingga tidak seperti selama ini, di mana pagar malah makan tanaman dan membiarkan maling menjarah dan diam saja bahkan kerja sama. Penegakan hukum dan pengawasanyang efektif, bukan wacana dan basa-basi.
Suap dan kolutif rekrutmen di lembaga peradilan dan jenjang karir.
Hal ini sama juga dengan kentut yang tercium namun susah membuktikan. Budayakan malu dan tahu diri, kalau tidak berani adanya UU pembuktian terbalik. Malu kalau kaya karena nyolong, malu gajinya besar tapi masih jug ngobyek, malu kalau bekerja tidak profesional dan mengingkari kebenaran dan keadilan.
Tidak mungkin dari ketiga pihak itu benar semua. Dan juga tidak mungkin ketiganya adalah ada salah semua. Pembuktian sangat mendesak untuk menyajikan kebenaran. Kasus ini pasti bukan satu-satunya peristiwa yang melibatkan lembaga penegakan hukum ini. Apakah mau seperti ini terus?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H