Hari-hari ini dihebohkan mengenai pemberitaan guru yang sangat mudah dikirim ke penjara karena dinamika dalam kegiatan belajar mengajar yang sempat ada permasalahan. Di mana posisi guru itu sering menjadi riskan apalagi berhadapan dengan orang tua yang bersikap dengan berlebihan, menuntut hak dengan bak babi buta, tanpa mau tahu realitas anak, kondisi guru, dan dinamika yang terjadi. Diperparah, kondisi peradilan yang masih berpihak pada kuasa dan uang. Penuntut biasanya orang tua yang tidak perhatian namun menuntut guru lebih perhatian dan membawa kasus ke pengadilan.
Kisah nyata, saya pernah memiliki kolega mengajar. Rekan guru ini masih baru, belum bisa mengelola kelas dengan semestinya. Satu mess sebagai orang yang lebih senior dan pengalaman menghadapi siswa, sering saya katakan berbuat keras dan tegas itu juga bagian dari pendidikan. Tentu bukan kekerasan dengan menggampar, menendang, merobek-robek buku, dan sejenisnya. Suatu hari rekan ini takut setengah mati, karena ternyata ada anak yang ia hukum berdiri di depan kelas mengaku kakinya patah. Saya tertawa terbahak-bahak karena teman saya ini tidak akan berani memukul murid, saya yakin, apalagi mematahkan kaki. Cerita saya anggap usai dan tidak ada masalah lebih jauh. Tapi ternyata tidak sesederhana itu.Â
Beberapa hari kemudian ada bapak yang mencari rekan saya ini, dan mengancam akan melaporkannya ke komnas HAM, kepolisian, dan menuntut perilaku guru ini. Mengapa rekan saya meminta siswi tersebut berdiri di depan kelas? Siswi ini pindah kelas ketika pelajaran berlangsung, karena rekan-rekannya ada di kelas lain. Ini bukan hanya kesalahan dia yang pertama dan kecil tentunya. Singkatnya anak ini bukan anak mudah dididik dan banyak masalah. Ternyata siswi tersebut pindah dari sekolah lain dengan catatan kepribadian juga buruk. Artinya apa? Sesungguhnya anak inilah yang banyak masalah, dan orang tuanya tidak mau tahu, kemudian menganggap bahwa gurulah yang salah dan anaknya yang benar.
Guru Ideal
Hukum perundangan mensyaratkan bahwa guru tidak boleh melakukan kekerasan selama kegiatan belajar mengajar. Sepakat. Dalam kondisi ideal itu bisa dimaklumi. Namun apakah semua yang faktual itu selalu ideal? Tentu tidak, bukan? Namun bahwa yang ideal dan faktual itu bukan alasan untuk melakukan  kekerasan di dalam kegiatan belajar di kelas. Kita bisa mencoba menerapkan tantangan guru di kelas itu seperti apa. Kembali ke kondisi ideal: kelas yang kondusif itu berisi antara 20-36 siswa/i per kelas, bisa saja guru menghadapi 40 lebih anak, dengan berbagai kemampuan. Orang-orang yang belum pernah merasakan mengajar tentu tidak mudah memahami betapa tidak mudahnya menghadapi sekian kepala itu. Belum lagi kondisi kelas yang panas, anak jenuh, dan sebagainya. Guru yang jempolan tentu tidak akan terpengaruh dengan semua catatan itu, namun perlu diingat bahwa guru tidak semuanya jempolan. Mereka juga punya persoalan sendiri, dan itu yang sering menjadi pemicu perselisihan, seperti yang menghantar ke penjara.
Guru Idola
Tahukan Anda, guru seperti apa yang disukai para murid? Bebas di kelas, ramai tidak ditegur, sering kosong, masuk terlambat, keluar cepat, tidak peduli kondisi anak, mau ribut di kelas dibiarkan, mau pakaian amburadul tidak ditegur, anak tidak mau buat catatan dibiarkan, photo copy catatan teman boleh, dan pokoknya yang memberikan keleluasaan siswa di dalam belajar. Jangan heran guru demikian banyak dan juga sangat menjadi idola bagi siswa-siswi, terutama maaf sekolah yang tidak favorit. Pendidikan tidak semata mengajarkan materi sesuai dengan silabus semata, namun mengajarkan pula nilai-nilai kehidupan secara menyeluruh.
Pendidikan merupakan kondisi realitas sering berhadapan dengan tuntutan ideal. Tidak heran banyak orang yang tidak pernah tahu kondisi anak, namun bisa menerangkan menjadi guru itu harus seperti ini, seperti itu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Bahwa guru yang melakukan kekerasan harus dihukum itu benar, namun apakah hanya sekali dan langsung masuk bui? Tanpa mau tahu apa yang sudah dilakukan murid yang bersangkutan, berapa kali nasihat penuh kasih yang tidak mempan, dan banyak faktor lain. Jangan dikira memukul itu dengan penuh emosi dan kebencian, tidak mungkin ada guru yang memukul karena kebencian. Jika itu berulang dan tanpa alasan yang sangat mendesak, bolehlah diajukan ke kasus pidana.Â
Peran kepala sekolah dan yayasan kalau swasta juga sangat penting. Jangan sampai melindungi peserta didik namun melalaikan guru. Sepakat bahwa guru tidak boleh semena-mena, namun murid juga tidak boleh seenaknya sendiri. Orang tua yang berlebihan juga lebih sering orang tua yang sama sekali bukan orang tua yang baik. Orang tua yang baik tentu mendidik anak-anaknya bertanggung jawab, memiliki tata krama dan bisa bersikap menghargai guru yang menjadi orang tua di sekolah. Kasus yang ada, biasanya dibawa oleh keluarga yang tidak menjamin pendidikan anaknya di rumah dengan semestinya, kemudian mengatasnamakan sudah membayar mahal di sekolah. Apakah itu bisa membenarkan orang tua melepaskan tanggung jawabnya?
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Keberhasilan dan kesuksesan anak tidak hanya tanggung jawab guru dan justru orang tualah yang lebih bertanggung jawab.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H