Munaslub Golkar sejatinya gak ada yang baru. Semua sudah diskenariokan untuk orang tertentu agar terpilih lagi. Lebih membuat kecurigaan, alotnya tatib pemilihan ketum, ada yang meminta terbuka, namun lebih kuat  yang meminta tertutup. Tertutup, bisa diterjemahkan menyembunyikan pilihan dan ada apa di sana. Dendam esok usai munaslub? Jelas bukan, ada soal lain yang berbeda.
Persoalan uang jauh lebih mengemuka dan menjadi panglima, ketika sejak awal telah ditentukan soal iuran dari 10-20 M, hingga akhirnya mendapat titik temu 1 M dengan dua candidat yang ogah menggunakan cara yang sama. Toh begitu malah mendapat sindiran, dengan menyatakan, sudah jadi kada karena Golkar begitu saja tidak mau. Aroma uang jelas saja sangat kental dan bisa menjadi penentu utama. Apalagi kandidat paling kuat saat ini, dan keuangan paling kuat, justru memiliki catatan paling parah di antara kandidat lain.
Syarat mendasar PDLT, prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tak tercela, ada di dalam AD/ART namun masih juga bisa diperlakukan seperti karet, sesuai kepentingan. Jelas kriteria mengenai prestasi, jabatan yang pernah atau sedang dipegang merupakan jaminan mutu yang jelas, terukur, dan pasti bisa disaksikan dengan gampang. Dedikasi juga lebih mudah dengan keberadaannya di parpol apakah pernah berjuang dengan mati-matian, atau malah bersembunyi ketika ada kasus. Ini tidak pula susah. Loyalitas jelas sekali, tidak akan bisa maju kalau pernah pindah partai tentunya. Terakhir, tak tercela ini, apa parameternya.
Ambil contoh, pernah jadi napi, apakah pantas, pasti akan bisa dikatakan, hukuman sekian, sudah selesai sekian tahun. Ini pasal karet yang dipakai. Apa juga pantes kalau ketua dewan yang sudah dilorot, eh malah masih jadi ketum. Menarik adalah, kalau itu dinilai bukan cela, berarti MKD dewan telah berlaku sewenang-wenang dengan menjatuhkan sanksi yang akhirnya membuatnya turun kasta kepemimpinan. Â Belum lagi soal pelaporan ke komisi etik, yang lagi dan lagi masih saja hanya wacana dan komisi tak berguna. Semua laporan tidak terbukti. Jika Golkar ingin memang menjaga kualitas bukan asal-asalan, yang lapor tidak berdasar bisa disanksi sebagai pemberi tuduhan palsu atau fitnah. Golkar menggali kubur sendiri.
Keadaan bangsa ini makin hari makin baik dan ada harapan untuk lebih membaik lagi. Pilihan Golkar ternyata masih yang sama. Pada pembukaan ada pernyataan sikap membawa gerbong Golkar dengan membawa mendukung penguasa. Padahal masa pilpres lalu, pernyataan kader Golkar, bahkan hingga beberapa waktu lampau masih melihat pemerintah sebagai musuh yang dicari-cari kesalahan, apalagi masa pra pilpres. Apa yang terjadi tentu masih ingat. Tanpa ada ungkapan bahwa di masa lalu ada friksi atau gesekan bukan untuk diingat, namun ke depan untuk dijadikan  pelajaran bersama. Sama sekali tidak ada, dan malah mengatakan karakter Golkar itu kekuasaan. Seolah merasa tidak ada masalah sama sekali dan tiba-tiba balik badan begitu saja.
Catatan kritis untuk Golkar, pertama, Golkar masih bau uang. Uang menjadi panglima, susah untuk menaruh kepercayaan kalau partai mengandalkan uang begitu. Uang di depan tentu di belakang memerlukan balik modal, susah memikirkan rakyat, bangsa, dan negara. Sama sekali tidak ada harapan. Kedua,melihat kebiasaan mereka, kala mendampingi Pak Beye, dua periode. Kali itu, presiden malah menjadi kuda tunggangan mereka. Penguasa aslinya Golkar dengan petentang-petenteng soal maling juga Lapindo. Kritik lebih keras dari PDI-P kala itu yang di luar pemerintahan.  Ketiga, pengakuan bahwa mereka terbiasa memerintah, menunjukkan bahwa mereka haus kekuasaan dengan semua cara boleh. Di luar pemerintahan juga baik kog, mengapa mereka merasa tidak terhormat? Kembali ke catatan pertama, soal uang. Mereka berharap dapat uang dari kekuasaan. Keempat,jangan sampai pemerintah  yang selama ini telah berjalan dengan jauh lebih baik, lebih bersih, dan cenderung lebih cepat, bukan ditambahi beban dengan model main dua kaki mereka. Justru menghambat dengan berbagai dalih dan keuntungan Golkar dengan merugikan banyak pihak.
Kelima,sangat merugikan kontrol yang ada. Sikap kritis dari dewan (meskipun selama ini juga asal beda bukan kritis), makin lemah. Ini merugikan pemerintah sendiri, yang bisa jatuh pada keadaan tiran. Meskipun pribadinya bisa, belum tentu sistemnya. Ini sangat merugikan. Apalagi kualitas Golkar yang tidak perlu diharapkan bagi kemajuan pemerintah dan tentu rakyat. Keenam, ide-ide basi yang digembar-gemborkan, soal Soeharto, soal model main uang, tak tercela kog dihukum, sangat tidak menguntungkan pembangunan, selain ndompleng hidup. Ketujuh, cara pemilihan ketum dengan voting tertutup, ada beberapa bersikukuh demikian, menunjukkan uang main di sana, memalukan banyak pejabat publik yang ikut terlibat. Apakah mereka bukan garong, kalau kaya? Benar tidak usaha mereka itu jauh lebih dulu, atau karena di Golkar mampu jadi pengusaha, jika dari Golkarlah memiliki perusahaan, modal dari mana? Kedelapan, Â agenda jelas yang diusung adalah soal Lapindo dan Skandal Catut. Lebih memikirkan kepentingan mereka bukan? Apalagi mikir negara dan rakyat, sama sekali tidak ada.
Apakah itu berlebihan tidak? Kualitas politikus mereka uang, dari pernyataan, perilaku, dan cara mereka berdinamika menyatakan itu dengan jelas, terang, dan tanpa tedeng aling-aling. Â Apakah masih tetap membiarkan slogan mereka, silakan menggonggong, kami tetap nyolong?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H