Doa selibritis media, baik sosial atau media cetak dan elektronik, di mana kasus yang demikian menyita perhatian oleh dua gadis muda belia. Zaskia yang dalam salah satu acara di televisi “terpeleset” becanda akan dasar negara. Dalih tidak tahu dengan dasar soal pendidikannya yang kurang. Ramai dan usai tanpa ada tindak lanjut. Belum reda ada lagi anak sekolah menengah yang menggertak polwan dan bisa melenggang kangkung dengan “pelanggarannya” dan kembali dunia geger dan usai tanpa ada tindak lanjut yang seharusnya.
Hukuman Terbaik Itu Membina.Sepakat bahwa hukuman itu mengubah pola pikir menjadi lebih baik dan memberikan efek membangun. Tidak mengulangi perbuatan dan mengubah perilaku menjadi lebih baik. Adanya kesadaran dan tahu kesalahan serta bagi yang tidak melakukan bisa mengambil pelajaran yang berharga dari sana. Efek jera diharapkan terjadi dan tidak ada perilaku yang sama dilakukan oleh orang lainnya.
Belajar dari Penyelesaian Kasus Sonya dan Zaskia.Mereka masih muda, masih ada harapan, dan model pembinaan jauh lebih berguna. Namun bagaimana kalau penghina (mengaku tidak tahu) malah menjadi duta Pancasila? Kalau benar dia tidak tahu, apakah mampu menyerap apa-apa yang perlu ia bagikan sebagai duta Pancasila itu? Apalagi belum belajar.
Transfer ilmu itu perlu waktu dan kemauan. Apakah ada kedua hal itu baginya? Tentu bisa saja dengan demikian ia bisa banyak belajar dan menghormati Pancasila, namun bagaimana efek jera bagi orang lain? Tidak heran ada anak yang duduk di kepala patung pahlawan dan kakinya ada di pundak.
Benar bahwa itu hanya patung, namun sama sekali tidak patut bukan? Efek jera tidak ada dan diulangi dalam bentuk yang senada, atau jauh lebih parah. Konteks yang sama dari Sonya yang melakukan pelanggaran lalu lintas, membentak polwan yang hendak menilang dan menertibkan dengan mengunakan kekuatan nepotisme, malah dijadikan duta anti narkoba. Baik dan patut diapresasi bahwa hukuman itu bentuknya pembinaan.
Hukuman bukan Hadiah.
Menjadi lucu dan ironis ketika mendapatkan hadiah dan seperti promosi. Bagaimana ada perubahan sikap kalau malah mendapat hadiah. Jangan kaget nanti akan ada pelanggaran yang jauh lebih besar dengan belajar dari persoalan ini. Apa bedanya dengan anak kecil yang diberi kue atau permen ketika merengek karena tidak mau mandi? Hadiah itu untuk yang berprestasi, prestasi itu konotasinya adalah positif, penghargaan diberikan kepada yang berbuat baik dan berjasa bukan pelaku pelanggaran sekecil apapun. Bagaimana segi keadilan dan hadiah bagi yang berprestasi dan hukuman bagi yang salah?
Hukuman bukan Balas Dendam.
Benar dan setuju, patut diperjuangkan bahwa hukuman itu sesuai dengan perbuatan dan perilakunya. Namun bukan balas dendam dan memberikan hadiah atau penghargaan.
Bagaimana yang Berprestasi?
Apa kurang artis yang belum pernah melecehkan Pancasila untuk dijadikan duta Pancasila, atau tidak adakah siswi yang berprestasi, taat azas dan lalulintas, tidak menggunakan nepotisme untuk menjadi duta anti narkoba? Apakah sudah semerana itu negeri dan kawula muda di bangsa ini. Tidak heran banyak orang berprestasi malah tersingkir dan melakukan kejahatan dengan brilian pula. Ketidakadilan, tersingkir dengan sangat tidak beralasan, dan keji bisa menimbulkan luka mendalam dan mengubah menjadi penjahat.